Oleh : Dra. Siti Hartati Murdaya˛
Pendahuluan
Candi Borobudur, salah satu peninggalan sejarah kebesaran nenek moyang Indonesia, telah umum dikenal sebagai salah satu dari tujuh monumen keajaiban dunia. Ia merupakan candi Agung Buddha terbesar di dunia.
Menurut Prof.Dr.JG Casparis, sebuah prasasti dari abad sembilanł menyingkapkan silsilah tiga raja wangsa Cailendra, yaitu raja Indra, putranya Samaratungga dan selanjutnya putri Samaratungga yaitu Pramodawardhani. Pada masa pemerintahan raja Samaratungga, mulailah dibangun candi yang bernama Bhumisam Bharabudhara, yang dapat ditafsirkan sebagai Bukit Peningkatan Kebajikan, yaitu setelah melampaui sepuluh tingkat Bodhisattva. Setelah selesai dibangun selama kurang lebih seratus lima puluh tahun, Candi Borobudur merupakan pusat ziarah megah bagi penganut Buddha sampai dengan runtuhnya kerajaan Mataram sekitar tahun 930 M, dimana pusat kekuasaan dan kebudayaan pindah ke Jawa Timur.4
Keindahan dan keagungan Candi Borobudur tidak hanya mendapatkan pengakuan masyarakat Indonesia sendiri, melainkan ia sudah dianggap sebagai warisan kebudayaan dunia. Hal ini terbukti pada saat pemugaran Candi Borobudur selama sepuluh tahun sejak tahun 1971, dukungan berbagai negara sahabat telah diberikan secara mantap. Dua puluh delapan negara duduk sebagai anggota dari Executive Committee for the International campaign to Safeguard the Temple Borobudur.
Selanjutnya, Candi Borobudur berhasil menampilkan diri sebagai pusat wisata yang mampu menyerap tingginya kunjungan wisatawan, yaitu kurang lebih 6.333,95 orang/ hari pada tahun 1997 dengan 13% wisatawan mancanegara dan sisanya 87% wisatawan nusantara.5 Kemegahan, keagungan, keindahan dan keunikan arsitektur Candi Borobudur yang dibalut dengan nilai-nilai penting dari sisi agama, budaya dan sejarah telah menjadi fokus perhatian umat Buddha, baik di Indonesia maupun luar negeri, serta wisatawan pada umumnya untuk datang berkunjung.
Walaupun tidak diragukan lagi bahwa Candi Borobudur merupakan tempat peribadatan umat Buddha pada jaman dahulu kala, namun dimensi Buddhis tersebut belum didayagunakan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari Candi Borobudur sebagai pusat kunjungan wisatawan. Candi Borobudur selama ini berfungsi sebagai tujuan wisata budaya semata-mata. Penggunaan Candi Borobudur sebagai peribadatan Umat Buddha hanya dapat dilakukan pada saat Waisak Nasional saja. Candi Borobudur hanya berfungsi sebagai monumen mati, tidak memiliki nuansa keagamaan Buddha apapun kecuali himpunan batuan patung dan relief Buddha saja.
Dalam kerangka pemikiran di atas, upaya ISEI Yogyakarta bekerjasama dengan Badan Promosi Industri Pariwisata Yogyakarta dan Asosiasi Kongres dan Konvensi Indonesia untuk mencari masukan tentang bagaimana menggali potensi ekonomi Candi Borobudur sebagai wisata ziarah sangat patut untuk dihargai. Tulisan kami berikut ini akan mencoba menyoroti potensi dan permasalahan pengembangan Candi Borobudur sebagai wisata ziarah.
Potensi Pengembangan Candi Borobudur sebagai Wisata Ziarah dan permasalahannya :
Wisata ziarah di candi Borobudur perlu dimengerti sebagai kegiatan kunjungan wisata ke candi tersebut untuk tujuan pengembangan spiritual keagamaan. Mengingat candi Borobudur adalah monumen Buddhis, tentu ziarah tersebut akan dilakukan oleh umat agama Buddha di Indonesia maupun Umat Buddha sedunia. Kegiatan wisata ziarah tersebut sangat bervariasi, meliputi berbagai aspek ritual dan peningkatan moral spiritual Buddhis melalui berbagai kegiatan, antara lain sebagai berikut :
- Pembacaan paritta (doa) secara individual maupun kelompok
- Meditasi secara individu maupun kelompok
- Upacara sembahyang
- Konvensi/ rapat/ seminar/ lokakarya Buddhis
- Lainnya.
Kegiatan-kegiatan wisata ziarah di atas akan menciptakan banyak lapangan kerja baru. Permintaan terhadap barang dan jasa yang diperlukan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan wisata ziarah tersebut akan meningkat.
Difungsikannya Candi Borobudur sebagai pusat wisata ziarah (dharmayatra), disamping sebagai pusat wisata budaya seperti selama ini kita kenal, adalah sangat potensial dengan alasan sebagai berikut :
Wisata ziarah merupakan salah satu preferensi calon konsumen (wisatawan) terhadap atribut keagamaan Buddha dari keberadaan Candi Borobudur. 6Terjadi proses nilai tambah dari wisata ziarah dibandingkan dengan sebelumnya.
Enam dari sepuluh negara anggota ASEAN adalah negara yang penduduknya banyak beragama Buddha, yaitu Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Myanmar, Singapura. Umat Buddha di negara-negara tersebut merupakan calon wisatawan mancanegara yang potensial ke Indonesia, terutama ke candi Borobudur.
Terlebih lagi Umat Buddha di negara- negara Asia lainnya yaitu RRC, Korea, Taiwan, Jepang, Hongkong, Sri Langka, Nepal, dan lain lain. Serta perlu dipertimbangkan pula Umat Buddha di Amerika, Eropah, Australia dan seterusnya, merupakan potensi Wisata Ziarah bagi Candi Agung Borobudur.
Wisata ziarah Buddhis sudah lazim dilakukan dan sangat berhasil di Thailand dan Kamboja. Berbagai vihara yang indah di Thailand serta keagungan candi Angkor di Kamboja telah menarik kedatangan banyak wisata mancanegara. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa wisatawan ziarah akan mendatangkan devisa dalam jumlah cukup berarti.
Kita menyaksikan sejumlah Vihara dan Candi dinegara tetangga yang tidak memiliki keistimewaan seperti Candi Borobudur, namun telah berhasil dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan perekonomian rakyat sekitar dimana Candi / vihara tersebut berada juga telah mendatangkan devisa dari wisatawan mancanegara yang tidak sedikit jumlahnya.
Candi Borobudur yang dijadikan Monumen mati telah menghilangkan nilai sakral Agama Buddha bagi penduduk dunia yang beragama Buddha, mereka tidak merasa perlu berkunjung ke Indonesia, sehingga para wisatawan yang datang pada umumnya merupakan wisatawan budaya, kalaupun yang berkunjung adalah wisatawan beragama Buddha, mereka tidak bisa melakukan puja bhakti sebagaimana mestinya.
Candi Borobudur dianggap sebagai Cagar Budaya dan monumen mati, sehingga para pengunjung tidak memperdulikan lagi kondisi kebersihan Candi seperti yang kita saksikan dimana pengunjung membawa makanan dan minuman serta membuang sampah yang tersebar dimana mana, juga mereka mendudukan anak kecil dipundak Arca Buddha sambil berfoto serta memperlakukan tempat suci tersebut sebagai tempat picnic dan merusak baik suasana spiritual maupun nilai moral yang bertentangan dengan keagungan Candi Borobudur itu sendiri.
Candi Borobudur yang seharusnya memiliki daya tarik sangat besar bagi kunjungan Wisata Ziarah sedunia, telah gagal memberikan kesejahteraan bagi peningkatan perekonomian rakyat kecil sekitar Candi tersebut. Apalagi yang berhubungan dengan pemasukan devisa bagi negara. Kita saksikan negara tetangga yang memiliki objek wisata ziarah walaupun tidak sebagus Candi Borobudur, namun telah mengatur tata kunjungan wisatawan dengan sedemikian rupa, sampai ada peraturan menghukum pengunjung yang berperilaku tidak sesuai dengan moral dan etika yang seharusnya, telah berhasil menikmati kemajuan pemasukan devisa serta memberikan kemajuan bagi perekonomian rakyat sekitarnya secara optimal.
Nasib Candi Borobudur sampai saat ini sebagai monumen mati (Death Monument)
Sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia, Pemerintah RI semula belum membentuk Departemen yang khusus mengurusi Pariwisata secara sungguh sungguh, maka semua candi yang merupakan aset negara dianggap sebagai barang budaya, sehingga keberadaannya dimasukan kedalam wewenang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, digolongkan kedalam benda purbakala yang dinyatakan sebagai monumen mati.
Hal ini tidak disadari bahwa Candi candi yang memiliki nilai agama dan merupakan aset negara yang sangat tepat untuk digali sumberdaya ekonominya telah menjadi mubazir, Khususnya pada saat ini dimana terjadi krisis ekonomi dan krisis diberbagai bidang Pemerintah lupa bahwa antara lain Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia dapat mendatangkan devisa yang tidak sedikit jumlahnya bagi negara tanpa harus menunggu perbaikan jaringan ekonomi, baik sektor perbankan, perindustrian, perdagangan, maupun sektor sektor lainnya.
Setelah Negara kita memiliki Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya, maka keberadaan Candi Borobudur dan candi candi agama lain didalam wewenang Departemen Pendidikan sudah tidak tepat lagi, khususnya Candi Agung Borobudur tersebut masih dikendalikan oleh sejumlah pakar budaya yang tidak memiliki wawasan komersial serta tidak memanfaatkan nilai sakral keagamaan sebagai nilai tambah yang sangat kuat potensinya dalam menarik wisata manca negara.
Candi Borobudur sebagai Candi Buddha adalah suatu kenyataan.
Kerajaan Mataram I ( Kerajaan Mataram Purba ) berdiri tahun 775 – 850 diperintah oleh Wangsa Sailendra, yang telah mengantarkan bangsa Indonesia memasuki zaman yang jaya dalam bidang ekonomi, politik, sosial budaya.. Agama Buddha menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia pada waktu itu. Wangsa Sailendra telah berhasil mendirikan Candi Borobudur yang merupakan salah satu keajaiban dunia. Disamping candi Borobudur terdapat candi Buddha lainnya, yaitu Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Kalasan, Candi Sari dan Candi Sewu yang indah dan sudah selesai dipugar.
Atisa Sriyana Dipamkara dalam tahun 1012 telah datang ke Swarna Dwipa ( Sumatra ) dan berdiam selama 2 tahun untuk berguru dengan seorang Maha Guru Bhikkhu Agung yang sangat termasyur memiliki pengetahuan Buddha Dharma yang tidak terbatas bernama Maha Acarya Dharmakhirti, mempelajari dan mempraktekan ajaran Bodhicitta dan Pranidana, serta Avatara .Kedatangan Atisa dari India untuk belajar agama Buddha di Sriwijaya merupakan suatu prestasi Dharma dari bangsa Indonesia.
Tahun 1983 hari ulang tahun yang ke 1000 lahirnya Atisa telah diperingati dan dirayakan di seluruh India dan Banglades. Hal ini membuktikan betapa besarnya nama Atisa dalam perkembangan Agama Buddha di seluruh Asia dan Tibet. Bahkan PBB ( United nation/ Persatuan Bangsa Bangsa ) sangat menghargai Atisa, sehingga ulang tahunnya yang ke 1000 dipakai sebagai peringatan mulai dipugarnya Candi Borobudur.
Keagungan zaman keemasan yang jaya dari zaman kerajaan Mataram Purba, tidak seluruhnya hanya merupakan mimpi masa lampau, namun keberadaan Candi Borobudur adalah merupakan suatu realita yang hidup, yang telah diwarisi oleh bangsa Indonesia sebagai warisan budaya yang tidak ternilai mutu seninya. Candi Agug Borobudur yang merupakan sebuah mandala agung Tantrayana sungguh merupakan limpahan berkah dan karunia kepada Umat Buddha masa kini.
Keberadaan candi agung Borobudur ternyata bukan merupakan suatu impian saja, namun dapat kita saksikan adanya Upacara Suci Waisak Nasional yang dilakukan oleh para pendahulu yaitu saat kebangkitan kembali agama Buddha di bumi Indonesia dalam tahun 1956, yang dikenal dengan 2500 tahun Buddha Jayanti. Pada saat yang sama Buddha Jayanti juga mulai dirayakan di India , dimana Indonesia mengirimkan dua orang utusan.
Meskipun umat Buddha yang hadir dalam Upacara Suci Waisak Nasional tahun 1956 hanya berjumlah beberapa ratus orang sebagai tahun kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia, Namun upacara Waisak saat itu mempunyai arti sejarah yang sangat penting dimana Umat Buddha Indonesia melakukan upacara puja bhakti diatas Candi Borobudur.
Sejak tahun 1956 umat Buddha setiap tahun disaat Waisak selalu melaksanakan puja bhakti diatas Candi Borobudur. Selama candi Borobudur dipugar umat Buddha hanya diperkenankan melakukan Puja Bhakti Waisak di Candi Mendut, namun kemudian setelah Candi Borobudur selesai dipugar, maka umat Buddha kembali melakukan puja bhakti Waisak setiap tahun di Candi Borobudur dan mulai dilaksanakannya prosesi keagamaan yang diadakan mulai dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.
Masyarakat dan Pemerintah telah menyaksikan bahwa Candi Borobudur adalah Candi Agama Buddha, dan bukannya Candi Hindu dan Buddha seperti yang diragukan oleh Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Karena semua sekte agama Buddha sejak lama melakukan upacara suci Waisak di Candi Borobudur.
Dengan kenyataan sejarah ini, tidak dapat dipungkiri bahwa Candi Borobudur jelas dan nyata adalah Candi Buddha dan merupakan tempat ibadah Agama Buddha.Tidak dapat dibenarkan kalau Candi Borobudur masih diragukan sebagai tempat ibadah agama Buddha. Keraguan bahwa Candi Borobudur merupakan bagian dari budaya Hindu adalah sangat keliru.
Manfaat Candi Borobudur kalau dihidupkan kembali dan telah menjadi tempat ziarah umat Buddha sedunia, maka dapat dibayangkan berapa banyak umat Buddha dari luar negeri yang akan berkunjung ke Indonesia, mereka akan merasa tidak puas sebelum berpuja bhakti di Candi Borobudur selama hidupnya didunia ini. Disamping menjadi objek kunjungan wisata ziarah, Candi Borobudur masih tetap berperan sebagai objek wisata budaya yang berperilaku sesuai dengan semangat kesucian candinya bagi wisata nusantara dan wisata manca negara.
Adanya kekuatiran bilamana Candi Borobudur dihidupkan kembali sebagai tempat ibadah Umat Buddha, maka akan bertambah dengan cepat jumlah penganut agama Buddha ditanah air, sehingga ada beberapa pihak tertentu takut kalau umatnya pindah menjadi penganut agama Buddha. Hal tersebut sangatlah tidak masuk diakal, sebab agama Buddha bukan merupakan agama yang agresif / ekspansif. Sejak kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia dapat disaksikan gerakan organisasi Umat Buddha tidak pernah memiliki misi kearah itu. Menjadi umat Buddha ditentukan oleh karmanya sendiri, bukan dari hasil tarik menarik umat agama lain. Umat Buddha sangat menyadari tentang hukum karma dan menghindari akusala citta yaitu pikiran tidak baik. Umat Buddha senantiasa menjaga kerukunan antar umat beragama.
Sumber daya ekonomi bagi Candi Borobudur yang dimulai dari aktifitas wisata Ziarah.
Industri Pariwisata merupakan salah satu komponen utama dalam pengembangan perekonomian di berbagai negara, keunggulan industri ini terlihat pada kemampuannya untuk tidak terpengaruh secara berarti dari badai krisis perekonomian baik tingkat nasional maupun tingkat dunia. Adakalanya sektor industri Pariwisata menjadi penyelamat dari krisis yang terjadi pada negara negara yang sedang berkembang.
Indonesia salah satu negara sedang berkembang yang memiliki segala potensi Pariwisata yang sangat besar dan keaneka ragaman panorama, seni dan budaya serta peninggalan peradaban besar yang merupakan warisan dari nenek moyang kita.. Pulau Bali telah menjadi andalan utama Pariwisata Indonesia dan menjadi bagian dari jaringan Pariwisata dunia , Pulau Bali terkenal sebagai pulau dewata yang memiliki panorama surgawi dan pelayanan masyarakat bagaikan disurga manusia saat ini. Kemajuan Industri Pariwisata di Bali tidak hanya dari segi pisik Pulau yang indah, tetapi juga dalam segi pelayanan budaya dan prilaku manusia yang religius dimana berhasil menjadi pulau yang paling baik dalam segi penataan wisata dan peran sumber daya manusia yang menghidupkan seni budaya tinggi dengan nilai religius warisan nenek moyang bangsa Indonesia.
Mencerminkan perkembangan wisata utama Indonesia seperti halnya Pulau Bali yang mempunyai kultur Hindu dan Buddha dengan segala peningalan fisik dan seni budaya yang ada, tentunya bagian lain wilayah Indonesia akan mampu menjadi bagian dari jaringan wisata internasional selama kita memperlakukan meninggalan seni budaya dan nilai religiusnya menjadi instrumen wisata termasuk potensi wisata budaya dan wisata ziarah. Jawa Tengah yang merupakan salah satu wilayah Pusat Peradaban nenek moyang bangsa kita dengan segala peniggalan seni budaya, bangunan religius dan perilaku yang tinggi dengan menjunjung moral dan pandangan hidup yang luhur merupakan aset yang terpendam sejak lama. Kebijaksanaan Pemerintah yang selalu meletakan peningglan budaya Candi Candi menjadi death monument dan hanya dipandang dari segi duniawi sebagai benda purbakala adalah suatu penilaian yang keliru karena telah terbukti gagal dalam membawa kemakmuran bagi rakyat disekitarnya.
Pandangan yang menjadikan Candi Cand i, khususnya Candi Borobudur sebagai monumen mati akan merugikan masyarakat kecil disekitarnya dan masyarakat luas lainnya, karena segala potensi yang dimiliki oleh Candi Borobudur sebagai Candi terbesar didunia yang memiliki nilai sakral yang tinggi akan menjadi sia sia. Candi Borobudur mempunyai nilai seni budaya dan religius yang menjadi daya tarik potensi wisatawan manca negara, terutama kawasan Asia yang masih banyak negara yang mayoritasnya beragama Buddha.
Sumber daya manusia di sekitarnya akan menjadi hidup kembali seiring dengan dibuka peran Candi Borobudur secara religius yang tentunya segala seni,budaya dan ritual suci akan mengisi peran sentral Candi seperti halnya makna awal dari Candi Borobudur itu dibangun. Membangkitkan nilai spiritual akan membawa arti ekonomis yang tinggi, karena masyarakat kecil disekitarnya akan dapat membangun industri kecil dalam pembuatan cendera mata dan lain lain, juga prilaku budaya luhur akan kembali menyelimuti wilayah sekitarnya sehingga menjadi nilai keunggulan sektor Pariwisata Indonesia.
Sesuatu kehidupan yang harmonis dengan dikelilingi nilai spiritual, akan membuat seluruh wisatawan Indonesia dan manca negara dapat menikmati kehidupan yang penuh dengan tatanan budaya asli bangsa Indonesia yang bermutu tinggi, ditambah dengan segala keramahan dan seni budayanya. Jika Pulau Bali menjadi Pulau Dewata, maka dikemudian hari Candi Borobudur akan terkenal sebagai wilayah Surga bagi dunia, karena nilai spiritual yang tinggi dan kepercayaan umat Buddha bahwa didalam Candi Borobudur terdapat Relik Buddha Gotama akan menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat kekuatan spiritual umat Buddha, rangkaian seni budaya yang tinggi Tempat yang tepat untuk berprilaku suci dan mempunyai sentuhan surgawi akan membawa umat Buddha untuk beramai ramai mendatanginya sebagai bagian dari kunjungan spiritual agung.
Perlakuan sebagai monumen mati yang hanya melihat dari segi benda purbakala merupakan gambaran kurangnya memahami pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dalam arti benda purbakala memiliki nilai budaya yang dilingkupi nilai religius sesuai dengan makna aslinya, Saat ini terlihat perlakuan sembarangan tanpa tata nilai dalam mengembangkan wisata budaya bagi Candi Borobudur, sehingga seluruh pengunjung memperlakukan semuanya dengan mengabaikan tata etika dan moral yang harus dijiwai, apabila tata prilaku pengunjung diatur sesuai dengan nilai jiwa spiritual candi tentu akan membawa kebahagiaan batin yang tinggi bagi pengunjung dan tidak lagi melihat dari sisi benda purbakala yang mati tetapi juga dari sisi religius yang memotivasi jiwa untuk meningkatkan kesadaran dalam diri pengunjung akan kemuliaan bangsa Indonesia dan peradaban spiritualnya.
Industri kecil berupa kerajinan tangan, tempat penginapan dan segala seni religius akan kembali mengagungkan Candi Borobudur serta mampu membawa masyarakat sekitarnya untuk kreatif berkarya dan selalu berinovasi dalam pengmbangan usaha dan mata pencariannya.
Pengembangan sekitar Candi tidak memerlukan suatu investasi yang sangat besar tanpa menunggu perbaikan sektor industri riil ataupun sektor perbankan, yang paling utama hanyalah keamanan dan ketertiban serta menjadikan kembali candi Borobudur sebagai Candi yang Sakral karena terdapat RELIK Sang Buddha didalamnya
Candi Borobudur di era Reformasi
Salah satu keprihatinan yang mendasar menjadi perhatian kita semua adalah terjadinya gejala-gejala disintergrasi yang melanda bangsa kita dewasa ini, reformasi sebagai momentum mendadak dan serentak, membuka peluang seluas luasnya bagi bangsa Indonesia untuk mengadakan perbaikan terhadap kondisi lama yang
menghalangi peningkatan Demokrasi, Hak hak Asasi, dan Keadilan.
Momentum Reformasi dipicu oleh gejolak krisis moneter regional dan global, berkelanjutan menjadi krisis ekonomi, krisis politik, krisis keamanan, krisis kepercayaan, krisis moral, krisis kemasyarakatan dan krisis dimana mana yang melanda negara kita dan mengguncangkan hampir segala sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Bangsa kita belum siap menghadapinya baik secara konsepsional maupun secara operasional.
Badai gejolak krisis yang menerpa negara ini telah melemahkan kemampuan nasional kita untuk menjaga dan mempertahankan keutuhannya, sistim finansial sebagai salah satu tumpuan negara modern menjadi porak poranda.
Sifat Reformasi sebagai situasi transformasi dapat dijadikan peluang yang tepat untuk memperbaiki kesalahan kesalahan yang ada khususnya yang berkaitan dengan pengelolahan Candi Borobudur yang selama ini dapat dinilai munazir, karena tidak mampu menunjang pemasukan devisa bagi negara yang berarti, terutama disaat situasi bangsa dan negara sangat membutuhkan dana, dan tidak berhasil meningkatkan perekonomian rakyat sekitar Candi Borobudur dan candi candi lain sebagaimana yang terjadi pada negara negara tetangga dengan aset Candi / viharanya.
Dengan secepat mungkin memanfaatkan semua aset negara yang segera dapat mendatangkan dana, akan menjadi faktor penunjang bagi kegiatan bersama untuk ikut gerakan pemulihan perekonomian nasional, dan ikut serta menciptakan iklim yang kondusif dalam rangka upaya mencegah terjadinya disintergrasi masyarakat, bangsa dan negara akibat krisis yang berkepanjangan.
- Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Ekonomi Pariwisata “Menggali Potensi Ekonomi Borobudur sebagai Wisata Ziarah”, diselenggarakan oleh ISEI Cabang Yogyakarta bekerjasama dengan Badan Promosi Industri Pariwisata Yogyakarta dan Asosiasi Kongres dan Konvensi Indonesia di Yogyakarta, 18 Mei 1999.
- Penulis adalah Ketua Umum DPP Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
- Monumen Sri Kahulunan (824 SM). Lihat Larisa, “The Magnificence of Borobudur”, Gramedia, Jakarta, 1998.
- Lihat Yazir Marzuki dan Toeti Heraty, “Borobudur”, Djambatan, Jakarta, 1991.
- Lihat Kerangka Acuan Seminar ini
- Untuk deskripsi teroritis dari analisa atribut dari perilaku konsumen ini, lihat Kelvin J.Lancaster ” A New Approach to Consumer Theory,” Journal of Political Economy, 74 (April 1966) hal.132-57, dan Consumer Demand; A New Approach (New York, Columbia University Press, 1971).