Sudassam vajjam annesam attano pana duddasam paresam hi so vajjani attano pana chadeti kalim va kitava satho. | Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain, tetapi sangat sulit untuk melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Seorang dapat menunjukkan kesalahan orang lain seperti menampi dedak, tetapi ia menyembunyikan kesalahannya sendiri seperti penjudi licik menyembunyikan dadu yang berangka buruk |
Mala Vagga Bab XVIII ayat 252 |
Melalui ayat Dhammapada tersebut, umat Buddha yang mendapat panggilan untuk mengabdi pada organisasi dihimbau untuk menyimak wacana akan keberadaannya sebagai berikut : “Kalian adalah anak bangsa yang beragama. Tidak banyak umat Buddha yang bisa berjuang untuk membela agama, tidak banyak kesempatan yang bisa mereka peroleh tapi kalian telah mendapatkannya sebagai pemimpin umat, maka berjuanglah demi agama Buddha, Bangsa dan Negara sekaligus meningkatkan keberadaan agama Buddha yang masih minoritas di Indonesia”.
Bahwa kehadiran tokoh-tokoh Theravada yang bergabung dalam Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majubuthi) dengan program meningkatkan kwantitas dan kualitas Dharma duta dan Pandita di daerah-daerah makin banyak mendapat bantuan sebagai tenaga pengajar (anumodana) secara pribadi dari para Bhikkhu STI, Bhikkhu Indonesia yang ditahbiskan di Thai maupun dari Bhikkhu Mancanegara khususnya dari Thailand.
Umat Buddha ditanah air, tentu masih ingat betapa kehadiran Yang Mulia Bhante Vin Vijano Mahathera, seorang Bhikkhu / Dhammaduta Thai, sekitar tahun 1968 dan sampai saat ini masih ikut mengingatkan kembali Buddha Dhamma di Indonesia bagai magnet yang dapat menarik umat. Kehadiran beliau terbukti mampu menyedot animo masyarakat Buddhis untuk tetap yakin kepada ajaran agamanya dan terbukti banyak dari umatnya yang ditahbiskan menjadi Bhikkhu.
Jujur saja, kondisi seperti ini sangat baik bagi perkembangan agama Buddha di tanah air. Kenapa? Ternyata, Yang Mulia Bhante Vin Vijano Mahathera cepat beradaptasi dan mampu berbuat banyak dalam memberikan pembinaan pada umat Buddha Indonesia. Yang Mulia Bhante Wong Sin Labhikho seorang Dhammaduta Thai yang tinggal di Vihara Vipasana Graha Pusat Bandung juga ikut membantu umat Theravada Indonesia
Tetapi anehnya bertubi-tubi Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) diperingatkan oleh salah satu Majelis Agama Buddha anggotanya akan keberadaan Viharawan Mancanegara yang duduk dalam Dewan Sangha dan menjadi penasehat Dhamma. Menurut tokoh PP Majelis tersebut keberadaan Viharawan /Bhikkhu Asing dalam Dewan Sangha tidak sesuai dengan AD/ART Walubi tahun 1999 s/d 2003. pada hal kalau diteliti secara bijaksana makna yang tersirat dalam AD/ART sebetulnya tidak membedakan viharawan Mancanegara maupun WNI.
Walubi tidak mengerti dengan ulah tokoh umat yang berpandangan sempit seperti itu dan mengapa keberadaan Bhikkhu Mancanegara yang hanya menjadi penasehat Dhamma dalam Dewan Sangha itu, harus ditolak? Padahal Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha itu bersifat universal, tak membedakan musuh maupun orang asing. Apakah keberadaan Bhikkhu Mancanegara itu tengah mengancam kita bak kekuatan gaib yang mesti kita hadapi dengan sikap kuda-kuda?
Keberadaan Viharawan Mancanegara baik dari Theravada, Mahayana, Tantrayana itu sejak kebangkitan Buddha Jayanti yang dimulai tahun 1955 di Indonesia telah banyak membantu, mereka cepat beradaptasi dan kehadirannya sangat dibutuhkan untuk membantu pembinaan umat Buddha di Indonesia. Sampai kini berdiam di Vihara-vihara, dan ada sebagian yang telah menjadi Warga Negara Indonesia melalui naturalisasi. Untuk yang masih menjadi Warga Negara Asing pantaskah mereka dicarikan Paritta buat menolak?
Kehadiran Viharawan Mancanegara sebagai Dhammaduta ikut mengkatrol pamor agama Buddha di Indonesia. Bhikkhu Mancanegara khususnya dari Thai seperti Yang Mulia Bhante Vijano Mahathera, bukan makhluk UFO yang tidak kita kenal, ketulusan dan jasa beliau memajukan keberadaan agama Buddha
di Indonesia patut dihargai dan dikenang, jangan setelah banyak putera bangsa Indonesia yang telah ditahbiskan menjadi Bhikkhu ada sebagian dari kita yang tidak menghargai lagi jasa- Nya “Ibarat panas sehari lupa kacang akan kulitnya”. Menjadi seorang manusia yang tidak kenal/lupa budi luhur (AKATANNUKATAVEDI)
Umat Buddha jangan tertutup pikirannya karena tertutup itu tidak sehat untuk keseimbangan hidup. Tertutup itu mampet, tertutup itu buta, tidak bisa menerima kebenaran yang hakiki. Seperti pandangan agamawan sebelum zaman Renaisance (Zaman kehadiran Galileo Galilei), kaum intelektual zaman primitif, tingkah laku manusia dipagari tabu-tabu.
Keberadaan Agama-agama yang ada di Indonesia, termasuk agama Buddha (agama yang termasuk sulung) berasal dari negeri asing, tetapi bukankah telah dapat diterima dan berkembang dengan baik di Indonesia? Hal ini dapat disaksikan melalui peninggalan sejarah kebesaran zaman Kerajaan Mataram Kuno, Kedatuan Sriwijaya dan Keprabuan Mojopahit dan peninggalan budayanya tersebar diseluruh tanah air, seperti candi Borobudur, Mendut, Muara Tikus dan lain-lain serta falsafah Bhineka Tunggal Ika telah dijadikan falsafah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita diharapkan untuk tidak bicara asing atau tidak asing karena kalau kita bicara asing agama Buddha yang dibabarkan oleh Sang Buddha Gotama-pun adalah agama impor yang berasal dari India dan melalui para siswa Nya agama Buddha dapat diterima diperbagai negara dan masuknya agama Buddha ke Indonesiapun melalui para Bhikkhu Mancanegara (Asing) yang dengan penuh Metta (Cinta kasih) membabarkan Dhamma sehingga berkembang sampai sekarang dengan munculnya Sangha Theravada Indonesia (STI) dan Sangha-sangha yang lain.
Umat Buddha Indonesia terutama yang berada didaerah menyadari bahwa seorang Bhikkhu tidak lahir begitu saja, melainkan harus melalui suatu kemauan, tekad menjadi orang yang hidup mensucikan diri dan untuk menjadi seorang Dhammaduta harus melalui pembinaan yang matang.
Untuk menjawab masalah ini Buddha mengajarkan kepada kita agar memiliki SACCA (kebenaran) karena SACCA melampaui semua bentuk persaudaraan yang sempit. SACCA tidak terbatas dalam ruang lingkup, jangkauan dan waktu. tidak ada rintangan, tidak membuat diskriminasi. SACCA memungkinkan seorang untuk memandang seluruh dunia sebagai tanah airnya dan semua bangsa sebagai sesama manusia.
Orang dewasa mempertahankan pandangan SACCA, prinsip hidupnya secara dewasa, terbuka, saling membutuhkan, berprinsip toleransi dan kedewasaan. Globalisasi harus kita hadapi secara dewasa dan eksistensial. Orang yang tertutup itu hanya mengetahui dirinya sendiri, sudah paling benar dan paling sempurna. Ketertutupan itu juga menunjukkan ketidakdewasaan.
Persaudaraan suku bangsa dan persaudaraan nasional tidak dibatasi hanya pada orang-orang maupun suku-suku tertentu yang berbeda dengan persaudaraan sesama umat manusia yang diajarkan oleh setiap agama.
Ajaran agama Buddha tidak terbatas pada hubungan bangsa atau negara tertentu dan pertimbangannya bersifat universal. Seorang Buddhis sejati adalah warga dunia, Dia harus mempraktekkan Brahma-vihara terhadap setiap mahluk hidup dan merasakan kesamaannya dengan semuanya, tidak mempunyai perbedaan apapun dan sewajarnya tidak berprasangka jelek dulu.
Oleh karena itu keberadaan Bhikkhu Mancanegara dalam membantu mengingat kan Buddha Dhamma di Indonesia “Bukan masalah dan tak perlu dipermasalahkan
Oleh: Letkol (Purn) drg Nakulianto