Tahun-tahun terakhir terasa makin banyak dan marak pengguna dan korban narkotik, mulai dari anak-anak usia sekolah S.D, mahasiswa, sarjana, para manager hingga para orang tua dan pengusaha. Bahkan yang sangat memprihatinkan dan menyedihkan adalah korban-korban tersebut ada yang telah menjadi orang tak berguna lagi, hidup tidak matipun tidak. Dia telah dengan sangat terpaksa dibuang oleh keluarganya, akhirnya mati dengan sangat merana, mati dengan “standard” lebih rendah daripada binatang. Karena seekor anjing yang disayang dan dicintai oleh majikannya apabila mati akan ditangisi oleh sang majikan yang telah menjadi ‘orang tua angkat” nya.
Maka tentu kita harus berusaha sekuat tenaga mencari sebab musabab yang kelihatannya sangat laten, sehingga situasi yang demikian alot penanggulangannya ini akan dapat diatasi dengan mantap dan meyakinkan. Untuk itulah mari kita tengok kembali kebelakang menelusuri latar belakang kehidupan keluarga, karena sudah terbukti dengan kuat bahwa kecanduan narkotika semua bersumber dari ketidak harmonisan keluarga.
Pada saat pertama seorang laki-laki mengadakan pendekatan kepada seorang wanita, macam-macam motivasi yang ada dalam hati dan benaknya. Mungkin dia merasakan suatu perasaan sejuk bila berada dekat sang pujaan hati, atau ada juga yang merasa dihargai sebagai seorang laki-laki, begitu pula bagi sang wanita atau gadis, merasa tersanjung, terlindungi / terayomi. Keduanya berkhayal untuk membina rumah tangga dan keluarga bahagia sejahtera. Tanpa disadarinya mereka telah melupakan suatu tujuan penting dalam menjalin hubungan antar dua insan lain jenis, yaitu memberikan kebahagiaan konkrit bagi sang pasangan satu sama lain. Yang didambakan hanyalah sang pasangan akan dapat menyebabkan atau membawa kebahagiaan bagi dirinya. Ternyata hal itu merupakan kealpaan yang berakibat fatal dikemudian hari.
Dari resepsi perkawinan yang dilangsungkan sebenarnya dapat kita lihat dan “meraba” bagaimankah nilai dari perkawinan itu. Apakah perkawinan yang didasari tujuan luhur atau tujuan yang tidak jelas. Setelah berlalu waktu yang relatif tidak terlalu lama, mulai timbul perselisihan yang kian lama kian membesar bahkan demikian tidak terkendali sehingga berakibat perceraian bahkan pembunuhan sekalipun.
Dalam keluarga yang demikian semrawut, biasanya juga disertai sikap otoriter dari suami isteri yang telah menjadi orang tua dari anak-anaknya, khususnya sang ajah bukan lagi menjadi good father tetapi telah berubah menjadi “God Father” bagi anak-anaknya. Bila sang ayah pulang kerumah, anak-anak tidak lagi merasakan datangnya seorang pelindung atau pengayom, tetapi lebih dirasakan datangnya seorang “momok” yang sangat menakutkan.
Bagaimanapun anak-anak yang terus tumbuh membesar dan dewasa pasti akan timbul jiwa berontak. Bila dia dapat berpikir jernih maka akan dirasakan suasana keluarga itu sebagai contoh buruk yang tidak boleh ditiru dan terulang kembali pada kehidupan dirinya, seolah-olah menerima warisan buruk keluarga. Dia akan berusaha mencari terobosan-terobosan positif dan konstruktif untuk masa depannya. Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya, yaitu sang anak menjadi frustrasi / stress dan putus asa, mencari pelarian negatif dan destruktif, misalnya bermabuk-mabukan, akrab dengan pelacuran, kejahatan kriminil, klimaksnya terjerumus dalam salah penggunaan narkotika dan obat terlarang.
Memang sikap sang anak salah, tetapi siapakah yang mendorong sang anak bersikap dan berbuat salah? Akuilah dengan jujur bahwa orang tualah yang telah merusak kehidupan dan masa depan sang anak bahkan boleh dikatakan orang tua telah membunuh anaknya sendiri dengan perlahan-lahan. Sungguh merupakan prilaku sadis yang sangat laten!
Bagi suami isteri yang telah terlanjur salah langkah dalam perkawinan semacam ini, apakah berarti tidak ada harapan lagi untuk diperbaiki atau direnovasi? Tentu saja dan pasti dapat diperbaiki. Walaupun dikatakan sudah terlanjur, tetapi janganlah menjadi terlanjur lebih dalam dan lebih parah. Karena kegagalan perkawinan itu tidak lain disebabkan kurang pengertian akan makna dan tujuan perkawinan itu sendiri. Sangat patut untuk mewaspadai kekurang pengertian yang ada pada diri sendiri, seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam APPAMADA VAGGA:” Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian. Orang yang waspada tidak akan mati, tetapi orang yang lengah seperti orang yang telah mati”. Maka berdasarkan pada kalimat VAGGA ini hendaknya disadari akan kelengahan diri sendiri dan jangan terus bersikap apriori terhadap isteri atau suami. Bukankah karena adanya isteri atau suami tersebut barulah dapat disadari akan kekurang pengertian itu? Buddha mengajarkan:” Suami isteri adalah bagaikan sepasang sayap burung”, berarti suami isteri harus seirama dalam mengarungi kehidupan ini. Juga dikatakan:” Suami adalah tiang, isteri adalah atap” dan ” Isteri adalah busur, suami adalah anak panah”, maupun berbagai pepatah-pepatah lain yang menunjukan bahwa suami isteri harus menyadari dan melaksanakan fungsionalnya masing-masing, agar bisa saling menunjang dan saling menjembatani.
Dalam agama Buddha khususnya Saddharma Pundarika Sutra diajarkan bahwasanya setiap umat manusia memiliki jiwa Buddha, jadi haruslah dapat dirasakan bahwa setiap umat manusia bersaudara dalam keBuddhaan, tidak terkecuali bahkan khususnya antara suami isteri. Jadi janganlah suami memandang isteri hanya sebagai robot pekerja rumah dan pemuas nafsu sex, begitu pula janganlah isteri memandang suami hanya sebagai mesin hidup pencari uang. Masing-masing kembali pada proporsi atau fungsi dan tugas utamanya sendiri. Apabila masing-masing dapat merasakan persaudaraan keBuddhaan, maka dapat pula dirasakan dan disadari bahwa diri sendiripun tentu mempunyai kekurangan dan kelemahan seperti pasangan hidupnya, suami atau isteri. Sesuai dengan yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Saddharma Pundarika Sutra bab 2 – UPAYA KAUSALYA bahwa:” Hanya antara jiwa Buddha dengan jiwa Buddha dapat membangun saling pengertian”.
Suasana kejiwaan dalam keluarga atau perkawinan harmonis demikian sudah pasti akan merambat pada perasaan jiwa anak-anak, karena bukankah pada diri mereka juga terdapat keBuddhaan yang hakiki? Maka terhadap anak-anak juga harus dapat dirasakan dan disadari persaudaraan dalam keBuddhaan, dan dengan tulus kita dapat bersikap rendah hati sekalipun terhadap isteri dan anak-anak sendiri. Memang untuk dapat bersikap rendah hati sangat dibutuhkan ketulusan. Ini adalah dasar kokoh membangun komunikasi dalam keluarga maupun antar manusia.
Sebagai seorang Buddhis, pasti mengetahui bahwa perbuatan buruk yang timbul karena nafsu dirincikan dalam sepuluh jenis yang terdiri dari 3 perbuatan pikiran, 4 perbuatan ucapan dan 3 perbuatan jasmani, atau disebut juga sebagai 3 karma, yaitu karma pikiran, karma ucapan dan karma fisik/tubuh, dan kemudian dikembangkan menjadi 10 karma sebagai berikut:
karma pikiran : | 1. serakah dan iri hati; 2. dendam dan beritikat jahat; 3. pandangan berlawanan, atau seringkali menyalahkan orang lain; |
karma ucapan : | 4. dusta; 5. fitnah; 6. kasar; 7. omong kosong; |
karma tubuh : | 8. membunuh; 9. mencuri / menipu; 10. berzinah. |
Namun karena karma-karma tersebut diproduksi oleh kekuatan spirit jiwa yang didasari sifat egois, maka apabila spirit jiwa kita didasari oleh perasaan maitri karuna, 3 karma dan 10 karma tersebut tentu menjadi karma-karma luhur.
Kesadaran akan adanya jiwa Buddha pada setiap orang, ditambah dengan kemauan untuk merubah karma buruk menjadi karma luhur akan mendorong terbentuknya sinkronisasi suami isteri seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha sebagai I Tai Do Shin, yang berarti walau berbeda fisik tetapi satu tujuan. Dapatlah kiranya dikatakan sebagai Bhinneka Tunggal Ika dalam keluarga.
Tidak diragukan lagi kita semua tentu menyadari bahwa kehidupan dalam dunia ini relatif singkat dan bersifat sementara (fana), tetapi dalam kesementaraan ini hendaknya dipergunakan untuk berbuat kebajikan, bukan mumpung masih bisa hidup sebagai manusia didunia ini maka berbuat sewenang-wenang untuk mengenakan diri semata. Ada beberapa orang berkata: “Tuhan menjadikan saya sebagai seorang manusia kalau bukan untuk bersenang-senang lalu untuk apa lagi?” Berdasarkan hukum karma tentu akan berakibat sesuai dengan perbuatannya sendiri.
Maka dapatlah dimengerti bahwa yang menjadi penopang utama / primer dalam kehidupan bukanlah ilmu pengetahuan, tetapi tidak lain adalah karma baik atau rejeki sebagai hasil dari kebajikan kita, sedangkan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah hal sekunder sebagai sarana untuk kita dapat melaksanakan kebajikan. Kelirulah apabila para calon mahasiswa yang sering berkata ingin masuk bidang studi tertentu diperguruan tinggi karena gampang mencari kerja / uang. Tetapi ternyata betapa banyaknya sarjana yang menganggur dan betapa banyaknya sarjana yang bekerja diperusahaan dengan majikan yang taraf pendidikan formalnya relatif lebih rendah dari karyawannya (sarjana). Begitu pula ada karyawan dengan pendidikan formal hanya SMU memperoleh gaji jutaan, sebaliknya ada sarjana untuk mendapatkan gaji 1/2 juta saja agak susah. Bukankah ini merupakan bukti bahwa rejekilah yang berperan?
Langkah awal perbuatan bajik tentu harus dilakukan dalam lingkungan keluarga sendiri dulu dan kemudian meluas lingkupnya, bagaikan bola lampu yang apabila menyala tentu akan menerangi radius terkecil atau terdekat, kemudian radius pencahayaannya meluas dan membesar sesuai daya Wattnya.
Adanya suasana keluarga Sradha (imani) yang sedemikian rupa niscaya akan menjadi keluarga surga, anak-anak akan dapat terbina untuk berpikir jernih, bersikap positif, dan terhindar dari perangkap minuman keras, kejahatan kriminil, pelacuran dan narkotika / obat terlarang dll. Inilah yang dikatakan:” Kesesatan / penderitaan menjadi Kesadaran / Kebahagiaan “.
Semoga uraian sederhana ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat.
Tulisan ini dibuat untuk menyambut Hari AIDS sedunia 1 Desember 2000.
J a k a r t a, 29 November 2000.
Oleh: Tjondro Widouri