Sejak awal peradaban manusia, dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya maupun dalam bidang kehidupan yang lain selalu terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas dengan situasi kehidupan yang ada, dimana rasa tidak puas itu biasanya ditujukan pada kepala keluarga, pimpinan perusahaan, sekolah dan pemerintah, apalagi bila pimpinan dan pemerintah itu tidak bersih dari KKN.
Ketidak puasan dan aspirasi rakyat biasanya disalurkan lewat DPR, tetapi bila Pemerintah tidak memberikan tanggapan, maka cara yang ditempuh oleh pihak yang merasa tidak puas adalah melakukan berbagai aksi protes, demo, mogok dan sebagainya. Dan apabila semuanya itu tidak juga mendapat perhatian yang memadai, maka jalan terakhir dilancarkannya pemberontakan bersenjata atau aksi kudeta.
Hampir tidak ada satu pihakpun yang menyadari bahwasanya ketidak nyamanan dalam kehidupan bermasyarakat adalah suatu realita yang harus ditanggulangi bersama antara seluruh komponen masyarakat, baik yang memimpin maupun yang dipimpin.
Namun pemerintah tidak tinggal diam, pemerintah tentu akan melakukan antisipasi, karena keputusan yang diambil tidak akan dapat memuaskan semua pihak. Maka melalui berbagai cara, baik persuasif maupun represif diadakan untuk menstabilkan. Tetapi pendekatan persuasif melalui dialog sering disalah artikan oleh pihak yang kurang puas disalah tafsirkan bahwa pihak pemerintah lemah, takut, tidak sungguh-sungguh serta bersikap tarik ulur. Sebaliknya represif terkesan pemerintah menakut-nakuti.
Memang cara pendekatan persuasif adalah yang paling manusiawi dan bijak, karena melalui usaha tersebut dapat ditarik suatu solusi berupa jalan tengah antara pihak-pihak yang bertikai untuk saling toleransi dan berkompromi. Sedangkan represif/kekerasan kerap kali dilakukan terselubung (intimidasi, penculikan dsb) maupun terbuka (operasi militer). Antara pemerintah dengan pihak yang tidak puas acap kali saling menekan satu sama lain.
Satu hal yang patut diperhatikan yaitu harus ada persamaan satu tujuan pokok bernegara diantara para tokoh masyarakat dan pimpinan negara, dimana tujuan bernegara ini sering menjadi sirna karena tertutup oleh ambisi pribadi dan golongan. Maka untuk dapat mencapai hasil maksimal hendaknya semua pihak bersedia untuk kembali pada basis tujuan bernegara tersebut, yang focus urgensinya adalah kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan rakyat serta kejayaan bangsa dan negara.
Saya melihat bahwa sekarang ini banyak orang yang merasa ragu akan kinerja Dewan Legislatif kita yaitu MPR/DPR yang kurang aspiratif terhadap kepentingan rakyat, sehingga mereka bertanya-tanya apabila wakil rakyat bertindak menyalahi hukuh, seolah-olah tidak ada yang dapat mengadili mereka.
Tetapi realita, kita mengetahui TRIAS POLITICA ternyata berlaku juga pada sistim ke tatanegaraan di Indonesia, yaitu MPR/DPR sebagai badan legislatif, Pemerintah sebagai eksekutif dan Peradilan sebagai yudikatif. Ketiga badan Lembaga Tinggi Negara ini merupakan wakil-wakil rakyat yang lengkap. Mereka merupakan tiga kaki meja yang menopang daun meja, daun meja disini adalah negara.
Ketiga unsur Lembaga Tinggi Negara ini merupakan kristalisasi daripada inspirasi dan aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Seharusnya mereka saling menunjang dan melengkapi, jangan seperti yang kita lihat sekarang ini, ketiga-tiganya berjalan hanya menuruti “kebenaran” masing-masing.
Saya teringat akan kisah/fabel mengenai tiga buah apel masak yang saling berebut menarik perhatian tukang buah untuk dipilih/dipetik. Namun tiada satupun yang menaruh perhatian untuk mengambil buah-buah apel tersebut. Hingga suatu hari, saat apel tersebut hampir busuk, lewatlah seorang penjual buah, maka serta merta ketiganya berebut dan saling menjelek-jelekan satu sama lain untuk menarik perhatian si penjual buah, namun ia berkata:” Saya tidak tahu siapakah diantara kalian yang lebih baik atau jelek, tetapi yang saya ketahui adalah bahwa semakin kalian bertengkar maka semakin busuklah kalian bertiga” lalu pedagang buah itupun pergi meninggalkan buah apel itu.
MPR bukan hanya sekedar superviser bagi Pemerintah dan Peradilan, dan tahunya hanya mencela, memberi peringatan, menegur, seyogianya apabila Pemerintah/Presiden ada kekurangan, pihak lain harus mengimbanginya dengan saran atau usul, bahkan apabila mungkin anggota legislatief secara pribadi turun tangan membantu Presiden atau pihak yudikatif. Begitu pula sebaliknya kepada dua unsur lain.
Setiap pemimpin mutlak harus menyadari bahwa jabatan atau pangkat bukanlah identik dengan gelar kehormatan, tetapi jabatan adalah suatu anugerah tugas mulia yang dipercayakan Tuhan. Kekuasaan dan kewajiban hendaklah diletakan dan dilaksanakan pada proporsinya yang benar dan seimbang.
Orang tidak puas sedemikian rupa hingga ingin memisahkan diri (disintegrasi) adalah klimaks, dan hal semacam ini sebenarnya dapat terjadi dalam tiap aspek kehidupan, misalnya orang tua – anak saling bunuh, suami-isteri bercerai, anak melarikan diri dari rumah dan seterusnya, maka:
Pimpinan negara hendaknya menyadari bahwa seorang pimpinan bertugas untuk menyelesaikan masalah, bukan menunjukan kekuasaannya.
Pemerintah khususnya pemerintah pusat sebagai sebuah team hendaknya menjadi team tangguh. Dengan menyadari satu tujuan pokok dalam pemerintahan, maka segala inspirasi dan aspirasi pribadi, partai maupun golongan tidak lagi menjadi penghambat atau batu sandungan dalam mewujudkan kekompakan team, sebaliknya akan menjadi penyumbang saran (input) yang positif dan konstruktif serta tenaga yang effektif. Team ini ibarat sebuah roda penggerak utama, main power gear, dengan pusat rodanya adalah seorang kepala pemerintahan atau seorang Presiden/Perdana Menteri sebagai panutan utama.
Ada saat-saat dimana seorang pimpinan harus menerapkan pengertian dan sistim piramid, namun juga harus dapat melihat bahwa ada saat-saat harus diterapkan pengertian dan sistim lingkaran roda.
Ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.
Yang paling kompleks dalam mempersatukan seluruh potensi untuk kekompakan bangsa adalah segi manusianya yang sangat beragam cara berpikir, latar belakang tradisi, sosial, budaya, pendidikan dan kemampuannya yang sangat heterogen. Lebih-lebih bila dihadapkan pada sikap ego manusia yang tidak mau mengerti akan kendala yang dihadapi oleh pimpinan negara dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Pada masa lalu, unsur-unsur didalam negeri yang menyebabkan terpuruknya negara kita seperti ini, maka sekarang tidak pelak lagi potensi dalam negeri jugalah yang harus bangkit mengatasi kemelut ini, bukan mengemis dari negara lain. Sukses tidaknya tugas pemerintah memang dapat terlihat antara lain dari keberhasilannya membangun saling pengertian yang luas dengan rakyatnya yang sangat majemuk dan pluralis bahkan kontradiktif.
Maka seorang Pimpinan haruslah menyadari sepenuhnya fungsi dirinya sebagai pemersatu (bukan penyatu dalam pengertian homogenisasi) seluruh inspirasi dan aspirasi rakyat dalam satu tujuan pokok tersebut. Apabila terdapat konflik berkepanjangan, tidak pelak lagi hal itu merupakan kesalahan dan kekurangan Pimpinan, yaitu kurang adanya keobjektifan dan kebijaksanaan sebagai pimpinan negara.
Sikap yang selalu mawas diri dan ingin mengkoreksi diri berdasarkan pada gejala dan situasi yang timbul adalah wujud dari sikap objektif, dan seseorang yang mempunyai objektifitas yang memadai baru dapat menampilkan kepemimpinan yang bijaksana.
Sangat dapat dimengerti bahwasanya seorang Pimpinan Negara walaupun dapat dianggap sebagai penguasa tertinggi, namun dia tetap seorang manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan menyadari dirinya tetap sebagai seorang manusia biasa, hendaknya mempertahankan kesadaran ini, meningkatkan iman mental sesuai ajaran agamanya, dengan demikian dapat diperoleh kekuatan spiritual yang memadai, dapat tetap bersikap rendah hati, dapat lebih memahami orang lain, dan tidak memandang kepada orang dari partai/golongan lain sebagai lawan atau musuh politik.
Salah satu kesimpulan saya yang akan saya berikan dalam bentuk usul kepada ketiga unsur Lembaga Tinggi Kepemimpinan Negara kita adalah perlu adanya satu orang / badan kecil yang merupakan titik pusat dari ketiga badan Kepemimpinan Negara, berfungsi sebagai pembantu pengikat yang dapat menjembatani ketiga kaki meja tersebut. Mengapa saya katakan sebagai pembantu pengikat? Karena pengikat primer adalah daun meja atau negara itu sendiri. Dan sebagai mana kita ketahui kaki meja sering kali tidak dapat stabil apabila tidak ada pembantu pengikat pada bagian tengah atau bawah meja. Ini adalah salah satu komponen vital dalam Kepemimpinan Negara.
Suatu mechanism social engineering yang baik akan menghasilkan naturaly social engineering yang sesuai. Saya berkeyakinan kuat akan kebenaran mutlak prinsip ini.
Oleh: Tjondro Widouri