Oleh : Up. Vijayo S. Widodo
ditilik dari ajaran agama, berdana atau beramal kebajikan adalah suatu ajaran yang fundamental bagi semua umat beragama yang merupakan bekal bagi perlunya pembenahan diri untuk mengikis keserakahan (Lobha) yang berkecamuk dalam diri (bathin) umat manusia. Berdana merupakan praktik ajaran terpenting bagi pemula, yang dapat dilakukan oleh siapa pun, sekalipun ia seorang pencuri, penyamun, perampok ataupun wanita tuna susila (pelacur). Mereka dapat berdana dengan harta benda yang dimilikinya.
Namun demikian suatu perbuatan baik (kusalakamma) dengan berdana paramita yang dilakukan oleh orang yang baik, perbuatan tersebut akan dapat memberikan manfaat banyak menumbuhkan solidaritas sosial dan sadar hukum dalam mencintai sesama. Bagi umat Buddha Berdana adalah membiasakan diri melatih diri akan pentingnya mengembangkan cinta sesama.
Di hari Kathina ini umat Buddha seluruh dunia bersenang menyambut datangnya suatu masa yang sangat dinanti nantikan. Sebagaimana biasa kehidupan para samana (pertapa) yang hidup di hutan cukup banyak cara dilakukan untuk melatih diri yang bertujuan mencapai kesucian terlepas dari hal-hal bersifat keduniawian.
Pada zaman YMS Buddha Gautama, pindapata (mengumpulkan makanan) dari umat yang berdana untuk melangsungkan kehidupannya. Para samana (pertapa; Bhikkhu/Bhikkhuni) setiap hari melakukan pindapata waktu pagi, siang dan malam hari dari hutan ke desadesa. Cukup banyak di antara para Bhikkhu/Bhikkhuni yang tidak dapat pulang ke tempatnya di mana ia tinggal. Ada yang kecebur ke selokan, dimakan binatang buas sewaktu kembali dari pindapata dan sebagainya.
Dengan melihat kejadian-kejadian yang demikian ini maka YMS Buddha Gautama membuat dan menetapkan peraturan bahwa para Bhikkhu boleh berpindapata (mengumpulkan makanan) di pagi hari. Untuk malam hari tidak boleh melakukannya. Pada suatu hari tibalah suatu masa di mana musim hujan para Bhikkhu harus berdiam diri di vihara untuk bermeditasi tidak keluar masuk hutan, karena di musim hujan banyak sekali binatang-binatang tanah berkeliaran dan para Bhikkhu tidak boleh keluar dari tempatnya karena dikhawatirkan akan banyak binatang dan tumbuhan yang mati terinjaknya. Peristiwa berdiam diri di vihara/suatu tempat yang sesuai di musim hujan inilah yang dikatakan masa Vassa untuk mengembangkan batin melalui belajar DhammaVinaya, bermeditasi “introspeksi diri”. Silasila ia jalankan dengan segala kesungguhan hati tidak berkelana kian kemari tetapi sebaliknya berdiam diri dengan mengembangkan paramita dalam batin. Telah tiba suatu masa di mana masa vasa telah selesai timbullah suatu masa yang dinamakan masa kathina. Masa kathina ini disambut dengan sangat gembira oleh umat Budha dengan mempersembahkan “Cattupaccaya” empat kebutuhan pokok Bhikkhu/i berupa: persembahan Jubah (civara), makanan (bojanang), obat-obatan (bejasa) dan tempat tinggal (senasana).
Sebagai umat Buddha yang mengerti akan pentingnya berbuat kebajikan maka, dalam memperingati hari kathina dana ini, dilakukan dengan kesungguhan hati, penuh rasa tulus ikhlas, berbakti dengan memilih makanan-makanan, pakaian, obat-obatan yang terbaik untuk dipersembahkan kepada sangha (Pasamuan para Bhikkhu/Bhikkhuni), dengan bertekad (Adhitthana) dalam dirinya semoga dana ini dapat memberikan manfaat, bagi para samana semoga panjang usia dan Buddha Dhamma terus berkembang yang memberikan kesejukan bagi umat manusia bahkan semua makhluk.
Cukup banyak manfaat yang dapat kita peroleh dengan melaksanakan Kathina dana di mana umat Buddha seluruh dunia memperingati sebagai hari dana umat Buddha yang memberikan makna perlunya melatih diri mengaktualisasikan Dhamma agama.
Namun perlu disadari bahwa hal demikian tidaklah lengkap apabila sebagai umat Buddha hanya membina batin (rohaninya) saja, tanpa harus melakukan latihan (sikkhapada) dalam kehidupan sehari-harinya di masyarakat. Mengapa demikan, karena kualitas kepatuhan orang beragama terletak pada seberapa jauh pengalamannya, bukan sebaliknya seberapa banyak melafal dan hafal akan isi ayatayat kitab suci. Sebagai insan beragama di Indonesia di mana umat Buddha hidup berdampingan dengan penganut agama atau kepercayaan yang lain, hendaknya mampu menampilkan Jati diri umat beragama yang baik sebagai umat beragama khususnya kita umat Buddha Indonesia, Buddha Dhamma atau Agama Buddha berdiri di Tanah Air ini tidaklah sendirian, tetapi berdiri di antara agama dan kepercayaan yang lain, di mana masing-masing memiliki ajaran benar serta mampu bersaing dengan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kemajemukan beragama di Indonesia sebenarnya merupakan kebanggaan kita semua namun penuh dengan kasadaran akan hal itu. Oleh karena itu di samping agama-agama di Indonesia dapat bersaing dalam berbuat kebajikan, diharapkan dengan beragama umat manusia memiliki daya sharing yang handal menjadi filter perlunya pengembangan mental spiritual Saddha atau Keyakinan kuat untuk membentengi diri dalam mengembangkan iman dan takwa.
Di negara kita saat ini sedang dilanda berbagai krisis multi dimensi, yang utama supremasi hukum harus ditegakkan, perekonomian harus segera dipulihkan dan sebagainya.
Dengan melihat kenyataan demikian, sebagai umat Buddha hendaknya mampu mengubah pola sikap cara berpikir yang benar, dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya (yattabhuttanannadassana), yang dilandasi dengan kebijaksanaan (panna). Marilah kita mawas diri, mengembangkan batin penuh cinta kasih antar sesama, dengan sama-sama menyadari akan pentingnya hidup bersama, berbangsa yang berbudi pekerti luhur adalah milik kita.