Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik, dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala akar-akar kejahatan, yaitu: kebencian (dosa), keserakahan (lobha) dan kebodohan batin (moha). Ia merupakan gerak-gerik pikiran (cetana) yang bersikap mengendalikan diri untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan norma-norma kebaikan yang berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturan-peraturan yang ditentukan oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan atau tradisi yang baik.
Pengendalian diri atau pengekangan batin yang disebut Samvara ini dapat dilaksanakan dengan:
Patimokkhasavara sila: yaitu mengendalikan diri dengan mentaati peraturan atau disiplin.
Satisamvara sila: yaitu mengendalikan diri dengan perhatian yang benar.
Nyanasamvara sila: yaitu mengendalikan diri dengan pengetahuan yang benar.
Khantisamvara: yaitu pengendalian diri dengan kesabaran.
Viryasamvara: yaitu mengendalikan diri dengan kekuatan kemauan atau semangat.
Ciri dari orang melaksanakan sila ialah: sikap dan tingkah lakunya sopan dan tertib serta penampilannya tenang.
Fungsi atau guna dari sila, ialah untuk menghancurkan kejahatan atau memperbaiki perbuatan-perbuatan yang salah, dan menjaga/memelihara kebajikan serta mempertahankan perbuatan-perbuatan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau kita meninjau sila itu secara umum, maka kita akan dapat melihat bentuk atau coraknya sebagai suatu usaha yang memerlukan “pembersihan”, baik pembersihan batin maupun pembersihan lahir.
Sebab-sebab yang langsung dapat membantu terwujudnya sila ialah:
Otappa, yaitu perasaan batin yang takut untuk berbuat kejahatan.
Hiri, yaitu perasaan batin yang malu untuk berbuat kejahatan.
Sila pertama kali diajarkan oleh Sang Buddha kepada lima orang pertapa yang bernama Assajji, Vappa, Bhadiya, Kondanna, dan Mahanama sewaktu membabarkan Empat Kesunyataan Mulia yang kemudian disebut Dhammacakkhapavattana Sutta. Dalam sutta ini disebutkan Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha yang dinamakan jalan tengah dan disebut Jalan Utama Berunsur Delapan karena terdiri dari delapan unsur, yaitu:
pandangan benar;
pikiran benar;
ucapan benar;
perbuatan benar;
penghidupan benar;
usaha benar;
kesadaran benar;
samadhi benar.
Pada hakikatnya seluruh ajaran Sang Buddha sedikit banyak ada hubungannya dengan Jalan ini. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara dan memakai bahasa yang mudah dimengerti, kepada beraneka ragam orang dengan tingkatan pengetahuan dan kesanggupan yang berbeda-beda. Pelajaran yang terdapat dalam ribuan Sutta dari kitab-kitab suci Buddhis membahas Delapan Jalan Utama ini. Tetapi, harap jangan disalahtafsirkan bahwa jalan ini harus dilaksanakan menurut nomor urut daftar tersebut di atas. Sedikit banyak mereka harus dikembangkan bersama-sama, yang tentu saja tergantung pada keadaan dan kesanggupan dari tiap-tiap orang. Bagian-bagian itu sebenarnya satu sama lain, saling bergantungan dan saling mengisi.
Delapan Jalan Utama ini bertujuan untuk mengembangkan dan menyempurnakan tiga persoalan pokok dalam latihan dan disiplin seorang Buddhis, yaitu Sila mempunyai dasar pemikiran cinta kasih Universal dan belas kasih terhadap semua makhluk hidup, yang juga menjadi dasar ajaran Sang Buddha. Karena itu harus disesalkan bahwa cita-cita serta pemikiran yang luhur ini sering dilupakan oleh banyak ilmuwan (penulis) yang hanya menulis tentang agama Buddha yang berhubungan dengan filsafat dan metafisika yang tinggi dan kering.
Ajaran Sang Buddha sebenarnya “untuk kepentingan orang banyak” yang tercetus keluar dalam perasaan cinta kasih dan belas kasihan yang murni terhadap dunia ini serta seluruh isinya. Menurut Agama Buddha untuk memperoleh kesempurnaan hidup, dua sifat luhur harus dikembangkan secara bersamaan yaitu: Metta-Karuna (cinta kasih dan belas kasihan); Panna (kebijaksanaan). Metta-Karuna mencakup cinta-kasih, suka beramal, ramah tamah, toleransi dan sifat-sifat luhur lainnya yang ada hubungannya dengan perasaan/emosi atau sifat-sifat yang timbul dari hati, sedangkan Panna adalah hubungan dengan intelektual (kecerdasan), maka orang itu kelak akan menjadi seorang yang baik hati. Sebaliknya, kalau orang hanya mengembangkan segi inteleknya dengan mengabaikan segi perasaannya maka orang itu akan menjadi seorang intelek yang “berhati batu” dan tidak mempunyai perasaan kasihan sedikit pun terhadap orang lain. Oleh karena itu, untuk memperoleh kesempurnaan hidup orang harus mengembangkan sifat-sifat tersebut di atas secara berbarengan.
Dalam sutta ini disebutkan juga Jalan Tengah itu harus dikembangkan untuk melenyapkan Dukkha.
Dalam Cullavedalla Sutta disebutkan bahwa:
Ucapan Benar yang manapun, Perbuatan benar yang manapun, dan Mata-pencaharian – kesemuanya itu disusun dalam kelompok Sila.
Usaha Benar yang manapun, Kesadaran benar yang manapun, Pemusatan pikiran benar yang manapun – semuanya disusun dalam kelompok Samadhi.
Pandangan benar yang manapun, Pikiran benar yang manapun – kesemuanya disusun dalam kelompok Panna.
Sila, Samadhi dan Panna tersebut tidak disusun sesuai dengan Jalan Tengah, tetapi Jalan Tengah itu disusun sesuai dengan pengembangan Sila, Samadhi, dan Panna. Yang dimaksudkan dengan disusun adalah direnungkan, dihasilkan, dikembangkan, yang dihayati dengan penghayatan.
Dengan kata lain, dapat dikatakan dengan singkat bahwa Jalan Tengah adalah hasil pengembangan dari kelompok Sila, kelompok Samadhi, dan kelompok Panna.
Sila merupakan dasar yang utama dalam pengamalan ajaran agama, merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk mencapai peningkatan batin yang luhur. Hal ini jelas terlihat dari sabda Sang Buddha yang tercatat di berbagai Sutta dalam Kitab Tipitaka, misalnya dalam beberapa bagian dari Kitab Samyutta Nikaya sebagai berikut:
“Apakah permulaan dari batin yang luhur? Sila yang sempurna kesucianya”
“…Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari. Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal dari timbulnya Jalan Berunsur Delapan… .”(Silasampada sutta)
“…Saya melihat tidak satupun hal lain yang menjadi sebab timbulnya Jalan Berunsur Delapan yang belum timbul dan untuk perkembangan Jalan Berunsur Delapan yang telah timbul selain dari kesempurnaan sila… .”(Silasampada Sutta).
Selain itu, dalam Balakaraniya Sutta disabdakan:
“… Bergantung pada tanah, biji tumbuh-tumbuhan, tumbuh dan berkembang. Demikian pula, timbul dan berkembangnya Jalan Berunsur Delapan bergantung pada Kesempurnaan sila.”
PENGERTIAN SILA
Dalam tradisi Buddhis, banyak dibicarakan tentang sila dalam berbagai konteks yang terdapat dalam kitab-kitab. Buddhaghosa dalam kitab Visuddhimagga memberikan empat penafsiran sila keempat, penafsiran itu adalah sebagai berikut:
Pertama, menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana). Kedua, menunjukkan hanya penghindaran (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika). Ketiga, menunjukkan penghindaran diri (samvara). Keempat, tiada pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan (avitikkama).
Mereka, disebut sila dalam pengertian bahwa petama: menimbulkan harmoni dalam hati dan pikiran disebut Samadhana, dan kedua: mempertahankan kebaikan dan mendukung pencapaian batin yang luhur disebut upadharana. Selajutnya untuk mendapatkan pengertian sila yang lebih mendalam disebutkan bahwa sila itu memiliki ciri, fungsi, wujud, dan sebab terdekat yang menimbulkannya sebagai berikut.
Fungsi sila, pertama adalah menghancurkan kelakuan yang salah, dan kedua menjaga agar seseorang tetap tidak bersalah.
Wujud sila adalah kesucian. Kita mengenal seseorang dengan melihat rupanya. Demikian pula kita mengenal sila dengan wujudnya yang suci dalam perbuatan jasmaniah, ucapan dan pikiran.
Sebab terdekat yang menimbulkan sila adalah rasa malu berbuat salah dan takut pada akibat perbuatan salah (hiri-otappa).
Hiri-Otappa adalah pelindung Dunia Lokapaladhamma). Jika tidak ada lagi Hiri-Otappa, dalam diri akan berkecamuk kekacauan yang akan merugikan diri sendiri maupun masyarakat luas. Sebaliknya, bila terdapat Hiri dan Otappa, dunia ini penuh dengan ketenteraman dan kedamaian.
Faedah sila banyak disebutkan dalam khotbah-khotbah Sang Buddha, diantaranya yang paling banyak disebut adalah tiada penyesalan. Batin yang bebas dari penyesalan akan mendapatkan ketenangan dan akan mudah mencapai Samadhi. Dalam Anguttara Nikaya IV, Sang Buddha Bersabda kepada Ananda sebagai berikut:
“Ananda! Sila memiliki tiada penyesalan sebagai tujuan dan buahnya.”
Dalam Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha bersabda kepada kaum perumah tangga tentang faedah dari sila, sebagai berikut.
Sila menyebabkan seseorang memiliki banyak harta kekayaan.
Nama dan kemasyhuran akan tersebar luas.
Dia menghadiri setiap pertemuan tanpa ketakutan atau keragu-raguan, karena ia menyadari bahwa ia tidak akan dicela atau didakwa orang banyak.
Sewaktu akan meninggal dunia hatinya tenteram.
Akan terlahir dalam alam surga.
Selain itu, dalam Theragatha, yang terdapat dalam kitab Khuddhaka Nikaya, Silava Thera mengatakan:
“Orang bijaksana yang mendambakan tiga macam kebahagiaan: kemasyhuran, kekayaan, dan kebahagiaan kehidupan surga hendaknya memelihara sila.”
Faedah sila yang lainnya ialah menjadi orang yang dicintai oleh makhluk-makhluk lain sebagai awalnya. Dalam Akankheyya Sutta yang terdapat dalam Kitab Majjhima Nikaya, Sang Buddha bersabda:
“Para bhikkhu, apabila seorang Bhikkhu berharap semoga saya menjadi kecintaan, kesukaan, kehormatan, kepercayaan, kebahagiaan bagi sahabat-sahabat sepenghidupan suci, hendaknya ia menyempurnakan silanya.”
Di samping itu dalam kitab Digha Nikaya II Sang Buddha bersabda kepada para Bhikkhu sebagai berikut:
“Jika seorang Bhikkhu ingin dicintai dan dihormati oleh sesama Bhikkhu, dia harus menjalankan sila.”
Kutipan-kutipan tersebut di atas merupakan sebagian kecil tentang faedah dari sila yang dibabarkan oleh Sang Buddha. Dari pembabaran itu terlihat bagaimana pentingnya sila dalam kehidupan dan dasar penghidupan yang jujur dan merupakan tangga untuk mencapai kehidupan surga. Namun demikian, tujuan tertinggi pengembangan sila adalah untuk mencapai Nibbana.
Sila dari seseorang dikatakan tidak bersih apabila sila itu telah dilanggar dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan sila itu sendiri. Bagaimanapun terjadinya pelanggaran itu, godaan adalah akar dari pelanggaran sila sehingga sila itu menjadi tidak bersih.
Noda dari sila tidak dapat dihilangkan dengan mencucinya dengan air sebanyak tujuh samudra. Noda itu tidak dapat dihilangkan dengan apapun, kecuali dengan melaksanakan sila.
Sebaliknya, sila dikatakan bersih apabila tidak ada pelanggaran sila. Dalam Sutta-sutta disebutkan bahwa kesucian sila dapat dipertahankan dengan menyadari bahaya dari pelanggaran sila dan manfaat mempertahankan sila.
BENTUK SILA
Dalam kitab Tipitaka disebutkan demikian banyaknya sila yang diamalkan oleh umat Buddha yang tujuan, kemampuan, kesempatan dan tingkat perkembangan batinnya berbeda-beda.
Dalam kitab Visuddhimagga, sila-sila yang banyak itu dikelompokkan atas lima klasifikasi dan masing-masing klasifikasi itu terdiri atas beberapa bagian dengan keterangan rinci.
Klasifikasi pertama, terdiri dari satu bagian dan terdiri dari satu kelompok: semua sila bertujuan dan membawa kepada peningkatan batin yang luhur.
Klasifikasi kedua, terdiri dari tujuh bagian, masing-masing bagian terdiri dari dua kelompok sila:
Melakukan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha adalah Caritta-sila dan tidak melakukan apa yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha adalah Varitta-sila.
Pola prilaku kehidupan keviharaan yang luhur adalah Abhisamacarika-sila, sedang Adibrahmacarika-sila adalah kondisi awal untuk jalan kehidupan suci. Abhisamacarika-sila adalah peraturan kecil yang berada di luar Adhibrahmacarika-sila.
Suatu sila yang bercorak pantangan yang merupakan unsur utama untuk timbulnya sila adalah Viratti-sila. Avirati-sila suatu sila yang bercorak kehendak dan kehendak ini merupakan unsur utama untuk timbulnya sila. Jadi, bukan karena pantangan, melainkan karena kehendak untuk tidak melakukan yang bertentangan dengan sila.
Nissita-sila adalah sila yang berkaitan dengan keinginan atau pandangan salah, yaitu sila yang berkenaan dengan harapan untuk mendapatkan kelahiran di alam surga atau sila yang dilaksanakan berdasarkan pandangan bahwa kesucian dapat diraih hanya melalui pelaksanaan sila. Sila yang dilaksanakan yang tidak berkaitan dengan keinginan dan pandangan salah tersebut di atas adalah Anissita-sila.
Sila yang pelakunya bertekad untuk melaksanakan dalam jangka waktu terbatas disebut Kalapariyanta-sila, bila pelakunya bertekad melaksanakan suatu sila untuk seumur hidupnya adalah Apanakotika-sila.
Sapariyanta-sila adalah sila yang dilanggar demi untuk keuntungan, kemasyuran, sanak keluarga, anggota badan, dan hidup. Sila yang dilaksanakan dengan konsisten meskipun harus mengorbankan jiwanya adalah Apariyanta-sila.
Sila yang disertai oleh kekotoran batin adalah Lokiya-sila dan sila yang bebas dari semua kekotoran batin disebut Lokuttara-sila.
Klasifikasi ketiga, terdiri dari lima bagian, masing-masing bagian terdiri dari tiga kelompok sila:
Sila yang dilaksanakan untuk kemasyhuran, kedudukan, dan sebagainya disebut Hina-sila; bila dilaksanakan demi hasil kebajikan adalah Majjhima-sila; yang dilaksanakan dengan pengertian bahwa sila itu sudah dilaksanakan sewajarnya, sudah sepatutnya dilaksanakan disebut Panita- sila.
Attadhipateyya-sila, adalah sila yang dilaksanakan untuk kehormatan bagi; dirinya sendiri karena kedudukannya. Sila yang dilaksanakan berdasarkan pertimbangan untuk pendapat umum disebut Lokadhipateyya-sila; dan bilamana sila dilaksanakan demi menghormati Dhamma adalah Dhammadhipateyya-sila.
Paramattha-sila, Aparamattha-sila dan Patipassadhi-sila, Nissita-sila yang berkaitan dengan Tanha dan pandangan salah. Sila-sila yang termasuk ke dalam Nissita-sila adalah Paramattha-sila. Sila yang sedikit dicemari oleh keinginan dan pandangan salah dari seorang perumah tangga yang bajik dan sila dari orang suci yang harus masih melatih diri lagi dinamakan Aparamatha-sila. Sila dari Arahat, orang suci yang tidak perlu lagi melatih diri disebut Patipassadhi-sila.
Sila dari seseorang yang tidak pernah dilanggar atau sila dari seseorang yang telah dibersihkan kembali setelah terjadi pelanggaran sila disebut Visuddha-sila. Sila dari seseorang yang telah dilanggarnya, tetapi ia tidak membersihkannya kembali adalah Avisuddha-sila. Sila yang dilaksanakan oleh seseorang yang ragu-ragu apakah sudah terjadi pelanggaran, atau sampai taraf yang bagaimanakah yang telah terjadi, atau apakah dirinya telah melakukan pelanggaran disebut Vematika-sila.
Sila dari mereka yang telah mencapai Sotapanna-magga sampai dengan Arahanta-magga adalah Sekha-sila dan sila dari mereka yang telah mencapai Arahanta-phala adalah Asekha-sila, sedangkan yang selebihnya yang tidak termasuk ke dalam Sekha-sila, Asekha-sila dinamakan Nevasekha-Nasekha-sila.
Klasifikasi keempat, terdiri dari empat bagian, masing-masing bagian terdiri dari empat kelompok sila:
Hanabhagiya-sila, adalah sila dari seseorang yang jatuh dari suatu kedudukan sila karena kecerobohan, sedangkan sila dari seseorang yang tetap di mana ia berada, tidak mengalami kejatuhan, adalah Thitibhagiya –sila.
Sila dari seseorang yang mendapatkan kemajuan dalam kehidupan keagamaan karena silanya, disebut Visesabhagiya-sila. Sila dari seseorang yang dapat mengembangkan pandangan-terang sehingga dapat melihat hakikat fenomena alam sebagaimana adanya disebut Nibbedahagiya-sila.
Bhikkhu sila, Bhikhkuni sila, Anupasampanna-sila dan Gahattha-sila.
Semua peraturan-pelatihan yang ditetapkan oleh Sang Buddha untuk para Bhikkhu adalah Bhikkhu-sila; untuk para Bhikkhuni adalah Bhikkhuni-sila. Dasa-Sikkhapada untuk para Samanera dan Samaneri adalah Anupasampanna-sila, sedangkan Gahattha-sila adalah Pancasila atau Atthangika Uposatha yang dilaksanakan pada waktu tertentu, khususnya pada hari Uposatha.
Pakati-sila, Acara-sila, Dhammata-sila, Pubhahetuka-sila.
Pakatti-sila tidak lain dari Pancasila, ialah suat sila alamiah yang berlaku dimana-mana tanpa dibatasi jaman. Acara-sila adalah tradisi yang terdapat dalam masyarakat tertentu yang mencakup: semua tata tertib, peraturan, tata susila tatanan masyarakat dan lain- lain semacam itu yang terdapat dalam diri seseorang, keluarga dan masyarakat.
Dahammata-sila adalah sila yang luar biasa yang hanya terdapat dalam peristiwa alam yang luar biasa, misalnya sila yang dilaksanakan oleh ibu yang sedang mengandung Bodhisatva, salah satunya tidak melakukan hubungan kelamin atau tindakan-tindakan yang menuruti keinginan nafsu-birahi. Sila yang luhur dari makhluk suci yang timbul dari pengalaman hidupnya yang lalu disebut Pubbahetuka-sila.
Patimokkha-Samvara-sila, Indriya-Samvara-sila, Ajivaparisuddhi-sila, dan Paccaya- Sannissita-sila
Patimokkha-Samvara-sila adalah sila berupa pengendalian diri dengan Patimokkha-sila. Sila berupa pengendalian diri panca indria: mata, telinga, hidung lidah dan kulit atau sentuhan jasmani disebut Indriya-Samvara-sila. Ajivaparisuddhi-sila adalah sila berupa penghindaran memperoleh kebutuhan hidup dengan mata-pencaharian yang salah, seperti: penipuan atau memperdayakan orang lain (kuhana); menjilat (lapana); membisu (nemittikata); pemaksaan (nippesikata); memberi sedikit dengan harapan memperoleh balasan yang lebih banyak (labhena labham nijigimsana).
Sila berupa penggunaan empat kebutuan pokok: jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan yang sesuai dengan fungsinya yang pokok dan kehidupan sebagai samana (pertapa) disebut Paccayasannissita-sila.
Keempat kolompok sila tersebut di atas khususnya para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Sila-sila ini juga dilaksanakan oleh Samanera-Samaneri, tetapi tidak seluas yang dilaksanakan oleh para Bhikkhu dan Bhikkhuni.
Klasifikasi kelima terdiri dua bagian, masing-masing bagian terdiri dari lima kelompok sila:
Sila yang terbatas pensuciannya (Pariyantaparisuddhi-sila). Sila ini bukan untuk orang yang telah menjalani upasampada menjadi Bhikkhu.
Sila yang tidak terbatas pensucianya (Apariyantaparisuddhi-sila) adalah sila untuk orang yang telah mengalami Upasampada menjadi Bhikkhu.
Sila yang paripurna pensuciannya (Paripunnaparisuddhi-sila) adalah orang yang baik silanya bersih dari keinginan dan pandangan salah atau sila yang bukan merupakan Nissita-sila.
Sila dari Sekha Puggala yang masih memerlukan pensucian (Aparamatthaparisuddhi-sila) adalah sila dari Ariya-Puggala mulai dari Sotapanna-magga sampai dengan Arahanta-magga yang masih memerlukan latihan untuk kesempurnaan sila.
Pahana-sila (sila meninggalkan), Veramani-sila (sila menghindari), Cetana-sila (sila kehendak atau kemauan), Samvara-sila (sila pengendalian diri), Avitkkama-sila (sila pelanggaran).
Sila-sila itu dijelaskan mengacu pada sepuluh perbuatan buruk (dasa akusala-kamma-patha), pikiran buruk (akusala citta) diatasi dengan jhana, pandangan salah dilenyapkan dengan pandangan terang (vipassana), dan sepuluh belenggu (dasa samyojana) dihancurkan dengan jalan mengatasi duniawi (lokuttara-magga).
Pemenuhan sila berunsur lima telah dijelaskan dengan mengacu kepada semua keadaan yang relevan satu demi satu, misalnya dengan mengacu kepada Akusala-Kamma-Patha, disebutkan dalam kasus pembunuhan makhluk hidup (panatipata), meninggalkan adalah sila, menghindari adalah sila, kehendak adalah sila, pengendalian diri adalah sila dan tidak melanggar adalah sila. Jadi, setiap kasus dijelaskan dengan mengacu kepada lima aspek sila.
Sila-sila yang telah dijelaskan tersebut di atas mengandung pengertian bahwa sila itu menimbulkan harmoni dalam batin dan mendukung tercapainya batin yang luhur. Sila itu kelihatannya beraneka ragam karena dipandang dari berbagai aspek dan konteks.
Sila merupakan segi mendasar dalam agama Buddha yang meliputi:
Batin yang dibangun dengan menghindari perbuatan buruk.
Pikiran yang berhubungan dengan pelaksanaan peraturan-peraturan yang berperan untuk kebersihan sila. Dengan kata lain, sila itu mempunyai dua aspek, aspek negatif (varitta-sila) dan Caritta-sila (aspek positif).
Varitta-sila menekankan tidak melakukan perbuatan buruk dan Caritta-sila menekankan perlunya seseorang menimbun perbuatan baik dan melaksanakan apa yang merupakan kewajibannya. Setiap rumusan sila mempunyai kedua aspek tersebut di atas. Digha Nikaya I (63)
“ia menghindari pembunuhan, membuang pentungan dan pedang; ia hidup dengan penuh cinta kasih dan welas asih demi kesejahteran dan kebahagiaan semua makhluk.”
Bagian pertama (i) Sabda Sang Buddha tersebut di atas mengajarkan orang untuk tidak melakukan pembunuhan; bagian kedua (ii) menyayangi semua makhluk dan meningkatkan kebahagiaan mereka. Dari sini kelihatannya bahwa aspek negatif adalah pendahulu dari aspek positif, tetapi keduanya saling bergantungan. Aspek negatif merupakan persiapan dan menyiapkan lahan yang baik untuk aspek positif.
Seumpama seseorang yang akan menanam padi di sawah, maka sebelum menanam padi ia terlebih dulu membersihkan sawahnya dari rumput-rumput agar padinya dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang diharapkan.
Aspek negatif mempunyai nilai menjauhkan pikiran dari obyek yang bukan kebaikan dan aspek positif memusatkan seluruh pikiran pada kebaikan, sehingga semaksimal mungkin dapat melaksanakan kewajiban.
Selain itu terdapat sila yang dinamakan Pakati-sila dan Pannati-sila. Pakati-sila adalah sila yang alamiah yang bersifat moral dan terdapat hampir di semua agama serta berlaku di mana-mana tanpa dibatasi oleh waktu, misalnya Pancasila. Pannati-sila adalah sila yang dirumuskan oleh Sang Buddha yang khusus diperuntukkan bagi cara hidup dan tujuan hidupnya yang istimewa.
Pakati sila bila dilanggar, baik oleh Bhikkhu maupun umat awam akan berakibat buruk dalam hidup sekarang maupun yang akan datang, misalnya membunuh makhluk hidup. Sedangkan Pannati-sila bila dilanggar oleh umat awam tidak dicela atau tidak berakibat buruk, tetapi bila dilanggar oleh seorang Bhikkhu, maka ia akan dicela oleh orang bijaksana. Misalnya, apabila memakan makanan diluar waktu yang ditetapkan (vikalabhojana) atau melihat tontonan (naccadita) bagi seorang Gharavasa bukan suatu pelanggaran sila, tetapi bagi seseorang Bhikkhu merupakan pelanggaran sila.
Sila dalam pengertian yang luas adalah menghilangkan pembawaan yang tidak baik seperti keserakahan, itikad buruk, iri-hati dan lain-lain, serta menimbun perbuatan baik seperti berdana, itikad baik kesediaan untuk memaafkan dan lain-lain.
Rumusan Pancasila, Atthasila dan Dasasila adalah sila dalam aspek negatif yang merupakan peraturan pelatihan untuk memiliki sila yang merupakan tahap dasar untuk pengembangan batin (bhavana) agar dapat mencapai tujuan akhir.
Sila dalam Sigalovada Sutta
Dalam Sutta-Sutta banyak dibicarakan moral atau sila yang memberikan manfaat bagi umatnya baik pria maupun wanita yang melaksanakannya. Sang Buddha banyak menyampaikan contoh bahwa pria atau wanita yang hidup berkeluarga dengan sukses dapat melaksanakan ajaran Sang Buddha dan memperoleh kedamaian Nibbana.
Pertapa Vacchagotta pada suatu hari secara langsung bertanya kepada Sang Buddha, apakah di antara para Upasaka-Upasika yang masih hidup berkeluarga ada yang telah berhasil melaksanakan ajaran Sang Buddha dan mencapai keadaan batin yang luhur? Sang Buddha secara terang-terangan menyampaikan jawabannya bukan hanya satu atau dua, bukan seratus atau dua ratus tetapi lebih banyak lagi Upasaka-Upasika yang hidup dalam lingkungan keluarga yang dapat melaksanakan ajaran-Nya dengan hasil yang baik dan mencapai keadaan batin yang luhur.
Mungkin bagi orang-orang tertentu lebih menyenangkan apabila ia dapat menyingkirkan diri ke tempat yang sunyi, jauh dari keributan dan keramaian kota; tetapi lebih terpuji dan perkasa adalah mereka yang melaksanakan ajaran Sang Buddha justru di tengah-tengah masyarakat ramai, sehingga mereka memperoleh kesempatan untuk membantu meringankan penderitaan orang lain, menolong mereka sesuai dengan tenaga dan kemampuannya serta selalu siap untuk mengabdikan dirinya guna kebaikan dan kesejahteraan orang banyak.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam hal-hal tertentu berguna sekali untuk mengasingkan diri pada saat-saat tertentu untuk memperbaiki pikiran dan watak sebagai permulaan dari latihan moral, spiritual dan intelektual. Namun, setelah mendapat kemajuan orang harus kembali ke penghidupan di antara masyarakat ramai untuk memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Tetapi, kalau orang seumur hidupnya mengasingkan diri dan hanya berpikir untuk kebahagiaan dan keselamatan dirinya saja tanpa menghiraukan orang lain, maka pasti hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang berdasarkan cinta kasih universal, belas kasihan kepada makhluk-makhluk yang sedang menderita dan pengabdian diri untuk selalu berusaha meringankan penderitaan orang lain.
Mungkin ada yang bertanya, kalau orang dapat menuntut agama Buddha sebagai seorang Upasaka/Upasika (umat biasa) dalam penghidupan berkeluarga, untuk apa Sang Buddha mendirikan Sangha (Pasamuan para Bhikkhu).
Sangha mempunyai sifat khusus karena Sangha bukan saja memberi kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan kemajuan dalam bidang spiritual, tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan diri memberi penerangan dan menolong orang lain. Seorang umat biasa yang masih berkeluarga tidaklah dapat diharapkan bahwa ia seumur hidup akan membaktikan dirinya untuk kepentingan orang lain. Sedangkan seorang Bhikkhu yang tidak mempunyai tanggung jawab rumah tangga atau ikatan-ikatan duniawi lain yang berada dalam kemungkinan yang baik untuk dapat mengabdikan seluruh hidupnya “untuk kepentingan dan kebahagiaan orang banyak”. Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah, Vihara bukan saja merupakan pusat kegiatan keagamaan, tetapi juga pusat dari ajaran dan kebudayaan.
Dalam Sigalovada-Sutta (Digha Nikaya 31) diceritakan bagaimana Sang Buddha sendiri menaruh penghargaan besar terhadap penghidupan para Upasaka/Upasika, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Seorang anak muda bernama Sigala mempunyai kebiasaan untuk memuja enam arah, yaitu: Timur, Selatan, Barat, Utara, Nadir (bawah) dan Zenith (atas) sebagai bakti dan penghormatan kepada pesan ayahnya tentang Ariyassa Vinaya (tata tertib para ariya), enam penjuru mempunyai arti sebagai berikut.
Timur berarti : Orang Tua
Selatan berarti : Guru
Barat berarti : Istri dan anak-anak
Utara berarti : Sahabat, sanak keluarga dan para tetangga
Bawah berarti : Pelayan, buruh dan pegawai
Zenith berarti : Para Brahmana dan Pertapa lainnya.
“Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil memberikan tekanan khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau orang memuja, tentu memuja sesuatu yang keramat, sesuatu yang ada harganya untuk dihormati dan dipuja. Enam kelompok orang-orang yang disebut di atas, dalam agama Buddha diperlukan sebagai keramat, berharga untuk dihormati dan dipuja.
Tetapi bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Buddha Bersabda bahwa orang hanya dapat memuja mereka dengan jalan melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini diterangkan dalam pembicaraan Sang Buddha dengan Sigala.
Orang Tua Kramat untuk Anak-anaknya
Sang Buddha bersabda: “Orang tua disebut Brahma (Brahmati Matapitaro)”. Istilah Brahma mempunyai arti yang luhur dan keramat dalam alam pikiran orang India dan istilah ini menurut Sang Buddha mencakup juga ”orang tua”.
Dari itu dalam keluarga Buddhis pada waktu sekarang ini anak-anak tiap hari memuja orang tua mereka, baik pagi hari maupun malam hari. Menurut ‘tata tertib para Ariya’ mereka harus melakukan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap orang tua mereka.
Mereka harus memelihara orang tua mereka yang sudah lanjut usia, harus melakukan segala sesuatu untuk keperluan orang tua mereka; harus mempertahankan kehormatan keluarga dan meneruskan tradisi-tradisi keluarga; harus melindungi harta benda yang telah dihimpun orang tua mereka dan harus melakukan persembahyangan sebagaimana layaknya pada waktu orang tua mereka meninggal.
Sebaliknya, orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anaknya; mereka harus dapat menghindarkan anak-anak mereka dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik; harus menganjurkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan berguna, harus memberikan anak-anaknya mereka pendidikan yang baik; harus menikahkan mereka dengan pasangan dari keluarga yang baik dan selanjutnya harus menyerahkan harta benda mereka pada saat yang tepat.
Hubungan antara Guru dengan Murid
Murid harus menghormat dan mendengar kata-kata gurunya; harus mengurus keperluan kalau ada; harus belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Sebaliknya, guru harus melatih dan mendidik muridnya secara seksama; harus memberikan muridnya satu pegangan hidup dan berusaha untuk mencarikan pekerjaan yang layak kalau pendidikan mereka sudah selesai.
Hubungan antara Suami-Istri
Cinta kasih antara suami-istri dianggap sebagai sesuatu yang suci dan keramat. Hal ini dinamakan Sadara-Brahmacariya (penghidupan keluarga yang keramat).
Di sini pun tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” dan penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan tersebut di atas. Suami-istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai kewajiban tertentu terhadap satu sama lain. Suami harus selalu menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa. Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus memberikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan pakaian dan perhiasan.
Fakta-fakta di atas yang memperlihatkan bahwa Sang Buddha tidak lupa untuk menyebut hal-hal yang kecil seperti hadiah dari seorang suami kepada seorang istrinya merupakan bukti betapa halus dan simpati perasaan kemanusiaan Sang Buddha terhadap perasaan orang biasa.
Sebaliknya istri harus mengawasi dan mengurus rumah tangga; harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga, pegawai suami; harus mencitai dan setia kepada suaminya; harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaan.
Hubungan antara Sahabat, Keluarga, dan Para Tetangga
Mereka harus saling memberikan tempat dan saling menolong. Mereka harus berbicara sopan dan menyenangkan; harus bekerja untuk kejayaan bersama; harus bekerja sama satu sama lain dengan syarat yang sama; harus menjauhi perselisihan; harus tolong menolong dalam keadaan darurat dan tidak melakukan suatu yang dapat menimbulkan kesulitan bagi yang lain.
Hubungan antara Majikan dan Pegawai
Majikan mempunyai beberapa kewajiban terhadap pelayannya, buruhnya atau pegawainya. Ia harus memberikan pekerjaan yang dapat dan mampu dikerjakan oleh pegawainya, harus membayar gaji yang sesuai, menjamin perawatan kesehatan; sewaktu-waktu harus memberikan uang tambahan atau hadiah. Sebaliknya, pelayan, buruh atau pegawai harus bekerja rajin dan tidak malas-malasan, jujur dan dengan kata lain tidak mendustai majikannya; ia harus tekun dalam pekerjaannya.
Hubungan antara Para Brahmana/Pertapa dan Umatnya
Umat harus mengurus semua keperluan para Brahmana dan Pertapa dengan cinta kasih dan penuh rasa hormat. Para Brahmana dan para Pertapa harus penuh cinta kasih memberikan pengetahuan dan ajarannya kepada umatnya dan membimbing mereka melalui jalan yang benar dan menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang tidak baik.
Dari uraian di atas dapat kita lihat dengan jelas bahwa penghidupan seorang Upasaka/Upasika dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya termasuk dalam “tata tertib para Ariya” dan berada dalam rangka “way of life” seorang umat Buddha. Dalam Samyutta Nikaya, salah satu kitab agama Buddha yang tertua, diceritakan bahwa Sakka, raja para dewa, bukan saja memuja para Bhikkhu yang telah melaksanakan penghidupan bersih dan suci, tetapi juga para Upasaka/Upasika yang telah melakukan penghidupan bersih dan yang memelihara keluarganya dengan semestinya.
Kalau orang ingin menjadi umat Buddha, tidaklah diperlukan satu upacara pentahbisan (untuk menjadi Bhikkhu anggota Sangha, orang harus menjalankan satu proses latihan disiplin dan pendidikan).
Sebenarnya, kalau orang mengerti ajaran Sang Buddha dan kalau orang itu merasa yakin bahwa ajaran-Nya merupakan Jalan yang benar, dan ia ingin menjalankan dalam kehidupannya sendiri, maka ia dengan sendirinya sudah menjadi umat Buddha.
Tetapi, menurut tradisi kuno orang dianggap menjadi umat Buddha, kalau ia mencari perlindungan dalam Sang Tiratana dan menjadi Upasaka/Upasika jika berjanji untuk menjalankan Panca-Sila dalam penghidupannya sehari-hari di hadapan seorang anggota Sangha.
Panca-Sila yang merupakan syarat minimum untuk diterima sebagai Upasaka/Upasika, merupakan janji kepada diri sendiri:
untuk tidak membunuh;
untuk tidak mencuri;
untuk tidak berzinah;
untuk tidak berdusta;
untuk tidak memakai atau minuman yang dapat melemahkan kesadaran.
Janji kepada diri sendiri di hadapan anggota Sangha harus diucapkan. Dalam upacara persembahyangan Buddhis, paritta ini biasanya diucapkan bersama-sama mengikuti pimpinan seorang anggota Sangha. Umat Buddha tidak diharuskan untuk melakukan ritus-ritus atau upacara yang biasanya dilakukan. Buddha Dhamma adalah suatu “way of life” dan yang penting ialah menjalankan dalam kehidupan sehari-hari Delapan Jalan Utama secara benar.
PEMBAGIAN TATA TERTIB
Pembagian tata tertib secara garis besarnya, tata tertib dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu tata tertib umum dan tata tertib agama.
Tata-tertib umum mencakup semua peraturan yang diputuskan oleh pemerintah atau negara; kaidah, etika, norma dan tata-susila yang dianut oleh masyarakat atau keluarga; peraturan dan tata-tertib yang diberlakukan di sekolahan, kantor, perusahaan, dan sebagainya. Karena sifatnya yang tak sama dan tak tetap, dan karena tidak begitu berkaitan langsung dengan pokok ulasan ini; tata-tertib umum.
Tata-tertib agama dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu tata-tertib yang berlaku bagi para perumah tangga, yaitu orang-orang yang menjalani hidup berumah tangga dan bagi orang-orang yang hidup tak berumah tangga, mulai Samanera/Samaneri hingga Bhikkhu/Bhikkhuni.
Sila untuk mereka yang berumah tangga ialah Panca-Sila (lima latihan hidup bermoral) dan Atthanga-Sila (delapan latihan hidup bermoral), Ajivatthamaka Sila, Navanga-Sila (sembilan kesilaan). Sedangkan Dasa-Sila, Nasananga, dan Dakamma dan Sekhiya Sikhapada diperuntukkan bagi Samanera/Samaneri. Patimokkha-Sila dan Abhisammacara diperuntukkan bagi para Bhikkhu/Bhikkhuni.
Panca-Sila terdiri atas penghindaran diri dari pembunuhan, pencurian, perzinaan, pendustaan, pemabukan, sedang Atthanga-Sila ditambah dengan penghindaran diri dari menyantap makanan pada waktu yang salah, menari, menyanyi, bermain musik, menonton pertunjukan, memakai perhiasan atau karangan bunga, melaburkan bedak atau wewangian untuk menghias diri, bertiduran di ranjang yang tinggi dan mewah, sedangkan Dasa-Sila ditambah dengan penghindaran diri dari menerima emas, perak dan alat penukar/uang.
Lima peraturan pertama dari Nasananga ialah Panca-Sila itu sendiri ditambah dengan lima peraturan lainnya: berucap menghina Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha; menganut pandangan sesat; dan memperkosa Bhikkhuni. Pelanggaran atas salah satu dari sepuluh Nasananga ini membuat seorang samanera berarti telah kehilangan ke-Samaneraannya.
Khusus peraturan yang terakhir, memperkosa Bhikkhuni, apabila dilanggar akan membuat seorang Samanera tidak mempunyai kesempatan untuk memperbarui ke-Samaneraannya, dan sepanjang hidupnya sekarang tidak berkesempatan lagi untuk menjadi Samanera; apalagi menjadi Bhikkhu. Dan Dakamma terdiri atas 10 peraturan yang lima pokok pertamanya persis lima pokok terakhir Dasa-Sila, sedangkan lima pokok selanjutnya ialah: berusaha membuat bhikkhu menderita.
Sebab-sebab Terjadinya Pelanggaran
Pelanggaran terhadap suatu tata tertib dapat terjadi karena:
tak tahu malu;
tidak mengetahui;
ragu-ragu tapi tetap melakukan;
menganggap patut sesuatu yang sebenarnya tak patut;
menganggap tak patut sesuatu yang sebenarnya patut;
keteledoran, kelengahan, atau kehilangan penyadaran.
Tiga Macam Pantangan
Suatu faktor yang sangat berperan dalam upaya menghindarkan diri dari pelanggaran sila ialah pantangan. Pantangan terbagi menjadi tiga macam, yaitu: pantangan spontan, pantangan janji/tekat, dan pantangan mutlak. Dua pantangan pertama tergolong pantangan duniawi, sedangkan pantangan terakhir tergolong sebagai pantangan aduniawi
Yang dimaksud pantangan seketika ialah pantangan dilakukan secara mendadak tanpa berjanji atau memutuskan terlebih dahulu dalam menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar sila kendatipun ada peluang dan kesempatan untuk melakukannya. Yang dimaksud pantangan janji ialah suatu pantangan yang dilakukan dengan terlebih dahulu menyatakan kebulatan tekat/janji dalam melaksanakan sila. Pantangan ini akan menghasilkan pahala ganda apabila benar-benar dilaksanakan. Sebaliknya, apabila tidak ditepati akan mengakibatkan hasil yang berlipat; dari pelanggaran sila itu sendiri dan dari pelanggaran janji atau tekat yang pernah dinyatakannya. Yang dimaksud pantangan mutlak ialah suatu pantangan yang secara langsung terpenuhi dengan lenyapnya semua sebab yang dapat membawa pada pelanggaran sila.
Dalam Kitab Visuddhimagga, Buddhaghosa Thera mengelompokkan sila menjadi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
Kelompok Dua
Caritta Sila;
Varitta-Sila
Caritta Sila adalah tata-tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha sebagai suatu hal yang patut dilakukan. Varitta Sila adalah tata tertib yang ditetapkan oleh Sang Buddha sebagai suatu hal yang tidak seharusnya dilanggar. Caritta Sila merupakan pokok-pokok bertingkah laku, sedangkan Vartta Sila merupakan alat untuk mentaati larangan. Carita Sila muncul berpadu dengan corak batin keyakinan dan upacara, sedang Varitta- Sila muncul berpadu dengan corak batin keyakinan saja. Berbeda dengan Varita-Sila yang bersifat mengikat, Carita-Sila adalah suatu tata-tertib yang meskipun tidak dilaksanakan tidak akan begitu mengakibatkan hukuman, kesalahan, noda, atau celaan apa pun. Akan tetapi, jika dilaksanakan niscaya menimbulkan manfaat yang besar.
Abhisamacara-Sila;
Adibrahmacariya-Sila
Abhisamacara-sila adalah pola bertingkah laku yang luhur. Ini mencakup semua sila yang berada di luar Ajivatthamaka Sila. Sementara itu, Adibrahmacariya Sila tidak lain adalah Ajivatthamaka Sila, yang menjadi kondisi awal bagi jalan kehidupan suci. Dalam arti lain, Abhisamacara Sila adalah tata-tertib kecil yang pada umumnya terdapat dalam Ubhatavibhanga, sedangkan tata-tertib lainnya yang terdapat dala Khandhakavatta termasuk Adhibrhamacariya Sila.
Viratti Sila,
Aviratti Sila
Viratti Sila adalah suatu tata-tertib yang mempunyai corak batin pantang sebagai faktor utama kemunculannya, sedang Aviratti Sila adalah suatu tata-tertib yang mempunyai corak batin kehendak sebagai faktor utama kemunculannya.
Nassita Sila,
Anissita Sila
Nissita Sila adalah suatu tata tertib yang dilaksanakan dengan bergantung pada pengharapan atas bentuk kehidupan yang luhur, dan suatu tata tertib yang dilaksanakan dengan bergantung pada pandangan bahwa kesucian dapat diraih hanya melalui pelaksanaan sila. Suatu tata tertib yang dilaksanakan dengan tidak bergantung pada dua hal tersebut, yang merupakan sila tahap aduniawi ataupun tahap duniawi penuh juga sila aduniawi, termasuk sebagai Anissita Sila.
Kelompok Tiga
1) Hina-Sila,
2) Majima Sila,
3) Panita Sila
Suatu tata-tertib yang dilaksanakan dengan kemauan, pikiran, semangat, dan amatan yang rendah disebut Hina Sila, yang menengah disebut Majjhima Sila, yang luhur disebut Panita Sila. Dalam artian lain, suatu tata tertib yang dilaksanakan dengan mengharapkan pengikut atau kedudukan disebut Hina Sila, yang dilaksanakan dengan mendambakan jasa kebajikan disebut Majjhima Sila, yang dilaksanakan dengan pengertian bahwa ini adalah suatu hal yang benar-benar patut dilaksanakan dengan mengharapkan harta kekayaan disebut Hina Sila, yang diraih untuk pembebasan bagi diri sendiri disebut Majjhima Sila, yang dilaksanakan demi pembebasan makhluk hidup lainnya disebut Panita Sila.
Sila suatu tata-tertib yang dilaksanakan oleh seseorang yang mengutamakan diri sendiri, berniat untuk menghindari perbuatan yang tidak patut bagi dirinya, dan dengan penghormatan pada diri sendiri disebut Attadhipateyya Sila. Suatu tata tertib yang dilaksanakan oleh seseorang yang mengutamakan dunia, berniat untuk menghindari celaan dari masyarakat, dan dengan penghormatan pada dunia disebut Lokadhipateyya Sila. Suatu tata tertib yang dilaksanakan oleh seorang yang mengutamakan Dhamma, berniat untuk memuja keluhuran Dhamma, dan dengan penghormatan pada Dhamma disebut Dhammadhipateyya Sila.
Dalam beberapa bagian Samyutta Nikaya, Sang Buddha Gotama bersabda “Seperti halnya fajar berwarna kuning keemasan, Duhai para Bhikkhu, adalah pertanda awal terbitnya sang matahari, demikian pula kesempurnaan sila, adalah pertanda awal bagi kemunculan Jalan Mulia Berfaktor Delapan.” Saya tidak melihat satu pun hal yang menjadi sebab bagi kemunculan Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang belum muncul dan bagi perkembangan Jalan Mulia yang telah muncul, selain kesempurnaan sila. Bergantung pada tanah, biji-bijian tumbuh dan berkembang. Demikian pula kemunculan dan perkembangan Jalan Mulia, bergantung pada kesempurnaan sila.” Demikan penting sekali sila dalam ajaran Sang Buddha, karena sila dapat membawa kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.