Situasi ramainya para tokoh agama Buddha yang saling mencela, menjelek-jelekan satu dengan yang lain, menyebabkan para siswa Diklat Dhammaduta dan Pandita Persaudaraan Vihara Theravada Indonesia (PERVITUBI) Angkatan Pertama yang berasal dari berbagai daerah merasa prihatin.
Mereka merasa para tokoh tersebut tengah mempertontonkan contoh buruk dan memalukan. karena itu seraya menanti chanting sore dimulai, mereka mempergunjingkan prilaku orang-orang yang seharusnya menjadi panutan tersebut.
Sebenarnya boleh saja seseorang mencela kekurangan orang lain atau menyalahkan perbuatan orang lain selama itu tidak diniatkan untuk menjatuhkan martabat orang tersebut. Hal seperti itu masih dapat digolongkan sebagai kritik. Karena itu harus ditunjukkan jalan keluar atau solusinya. Kata pak Widodo yang tiba-tiba nimbrung, melibatkan diri dalam diskusi para murid tersebut. “Benar begitukah seharusnya sikap seorang umat Buddha”, ia kembali bertanya agak ragu-ragu.
Boleh-boleh saja anda berpendapat begitu kata Anita, tapi harus diingat kritik haruslah dimulai dari diri sendiri “Mulailah dari diri sendiri kata orang bijaksana. Pendapat ini mengingatkan pada pesan Sang Buddha, bahwa “Setiap orang diakui merupakan majikan bagi dirinya sendiri dan membuat pulau pelindung bagi diri sendiri, termasuk bertanggung jawab mengatur dan mengawasi diri sendiri”.
Selanjutnya Buddha menegaskan: “Karena itu kendalikanlah dirimu sendiri, seperti seorang penunggang kuda mengendalikan kuda yang liar”. dan kepada para pemimpin umat, Buddha berpesan: “Hendaknya orang menempatkan dirinya sendiri dalam hal-hal yang patut dan selanjutnya baru mengatur, melatih orang-orang lain. Orang bijaksana yang berbuat dengan cara ini, dirinya tak akan pernah ternoda”.
Maka kalau anda hidup bermewah-mewah jangan mengritik mereka yang hidupnya tidak sederhana. Kalau hari ini anda berkata lain dan besoknya lain lagi jangan kecam orang yang berprilaku begitu juga. Bagaimana anda bisa mengkritisi orang lain nepotis sementara andapun sendiri berprilaku demikian.
Sang Buddha berkata kepada siswanya supaya tidak melakukan perbuatan yang kurang baik (Sabba papassa akakarana). Diantaranya adalah perbuatan menghina, mencela seenaknya dan berkata kasar kepada orang lain (Pharusavaca), karena semua itu adalah perbuatan kemerosotan batin yang dapat menimbulkan kamma buruk, yang tidak layak dilakukan oleh seorang umat Buddha.
Seyogyanya umat Buddha tidak saling menghina dan mencela antara sesamanya maupun dengan umat agama lain. Karena sesungguhnya Dhamma yang diajarkan bersifat universal dan Sang Buddha tidak pernah mengajarkan kepada muridNya untuk saling mencela, menghina oleh karena itu janganlah saling berseteru, melainkan damaikanlah antara sesamamu dan berlindunglah kepada Sang Tiratana supaya kamu mendapat perlindungannya dan mengerti Dhamma.
Sikap yang kurang baik hendaknya dihapuskan dalam kepribadian seorang umat Buddha, sebab perbuatan mencela bukanlah ciri seseorang yang menyatakan berlindung kepada Sang Tiratana. Kepada pengikutNya Buddha mengingatkan untuk memancarkan cinta kasih (metta) mereka kepada semua mahluk hidup dan merasakan kesamaan dengan semuanya. Perbuatan mencela yang makin marak belakangan ini seolah olah menepiskan Saddha kepada Sang Tiratana.
Jangan jadikan perbuatan mencela, mendiskreditkan dan memaki orang lain sebagai ciri khas kemajuan zaman. Seolah-olah penghinaan adalah hal biasa bagi umat manusia. Lebih banyak kita bekerja dan lebih besar kita berhasil, semakin kita menjadi sasaran penghinaan.
Selain perbuatan mencela juga ada perbuatan lainnya yaitu menghina martabat / kehormatan orang lain, mengolok-olok, mengumpat, mencari-cari kesalahan orang lain sebenarnya bukan perbuatan terpuji, bahkan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dinyatakan telah melakukan kejahatan dari perkataan (vaciduccacarita). Karena itu mereka yang melakukannya supaya diingatkan agar tidak berbuat lagi, sebab Dhamma telah memberikan pedoman yang syarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Sang Buddha menyuruh muridnya untuk bersikap tidak agresif, tidak menyakiti, toleransi dan berusaha menghindari ucapan yang kasar (Pharusavaca) karena mudah marah, menyayangi orang-orang yang berkelakuan buruk atau melakukan cara-cara yang dilakukan oleh Si Buruk itulah sebab kemerosotan batin.
Apakah tidak mungkin menghentikan tuduhan dan desas-desus palsu mereka? Dunia ini penuh dengan duri dan krikil. Penuh dengan orang yang memutar balikkan fakta, penuh dengan mereka yang tak kenal budi (Akatannukatavedi). Maka tidaklah mungkin untuk menyingkirkan mereka yang menyebarkan kecaman, seolah-olah Dia-lah yang telah berjasa, telah berbuat banyak untuk agama, bangsa dan negara.
Ironisnya sebagian orang seperti itu memanfaatkan jabatan dan kedudukannya, sehingga terkesan hanya melampiaskan rasa dendam, padahal orang yang dimaksudkannya itu belum tentu bersalah, tetapi sudah terlanjur divonis. Dan kenyataan proses hukum tidak pernah dilakukan tetapi seseorang telah divonis bersalah, bahkan orang yang mengecam itu memperoleh ketenaran.
MERAPATKAN KEMBALI PERSATUAN SESAMA UMAT
Sungguh sedih jika agama dijadikan dasar dan motivasi kebencian kepada sesama manusia apalagi masih seagama. Padahal ajaran agama menyerukan agar manusia menanamkan rasa Cinta kasih dan kasih sayang (Maitri dan Karuna) diantara sesamanya.
Untuk merapatkan kembali persatuan sesama umat manusia yang mulai tercabik-cabik perlu dikedepankan pendekatan cinta kasih dan kasih sayang (Metta dan Karuna) serta Hiri (malu berbuat jahat) dan Ottapa (takut akan akibat perbuatan jahat yang dilakukan).
Ajaran agama menyuruh umatnya untuk menegakkan perdamaian dan menjauhkan diri dari segala bentuk tindak kekerasan, ketidak adilan, ketidak benaran yang menghancurkan manusia dan merusak kemanusiaan. Agama selalu meminta umatnya berbuat baik, berlomba lomba dalam kebaikan. Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin. Sang Budha menyatakan: “Kebencian tidak akan berakhir kalau dibalas dengan kebencian, tetapi kebencian akan berakhir kalau dibalas dengan cinta kasih (Metta). (Dhammapada Bab I, Yamaka Vagga, ayat 5).
Cinta kasih merupakan kekuatan dari dalam diri manusia sendiri yang tidak saja mencegahnya dari perbuatan yang buruk, tetapi juga mendorong seseorang untuk bersahabat, menghormat dan mau memperhatikan kepentingan orang lain. Cinta kasih universal yang disadari melalui pengertian telah membentuk persaudaraan bagi semua mahluk hidup. Dengan demikian jika ada seseorang yang mencela orang lain berarti Dia telah mencela dirinya sendiri.
Pada umumnya orang didunia itu tidak berdisiplin, cenderung lebih banyak melihat akibat dari pada mencari sebab akar permasalahan yang bersumber pada Akusala Mula 3 yaitu: Keserakahan (Lobha), Kebencian (Dosa) dan Kebodohan batin (Moha), Mudah mencari-cari kesalahan orang lain tapi kurang cakap mengetahui kelemahan jati dirinya sendiri, sehingga kerap kali menjadi penonton yang kurang baik. Mereka yang banyak berbicara dicela, mereka yang bicara sedikit dicela. Mereka yang diam juga dicela. “Celaan tampaknya adalah warisan bersama umat manusia.
Si penipu dan si jahat cenderung hanya mencari–cari kejelekan pihak lain dan bukan kebaikan dan keindahannya. Tidak ada yang seratus persen baik kecuali Sang Buddha juga tidak seorangpun yang seratus persen jelek. Ada kejahatan dalam yang terbaik dan ada kebaikan dalam yang terjelek pada diri setiap manusia.
Orang boleh melayani dan menolong pihak lain sampai batas kemampuannya, kadang-kadang dengan berhutang atau menjual barang miliknya untuk menyelamatkan teman dalam kesulitan. Tetapi dunia manusia yang tercemar dengan berbagai keinginan, kerapkali sepertinya sudah diatur secara demikian, sehingga orang tadi yang ditolong bukannya tahu budi dan membalas budi, namun akan mencari kesalahannya, mencela sifat baiknya dan akan senang pada kehancurannya.
”Disini kita menyadari adanya kesenjangan antara tuntutan normatif ajaran agama, dengan kenyataan-kenyataan sosial para pemeluknya, karena itu hendaknya para tokoh yang bertikai merenung kembali pada keluhuran agama Buddha. Siapa lagi yang mampu menenangkan perasaan umat yang sedang gelisah, kalau tidak para pemukanya sendiri. “Kita berkewajiban memberikan keteladanan dalam kedewasaan, keteladanan dalam kesabaran”
MELATIH KESABARAN:
Socrates dihina oleh isterinya sendiri, setiap ia pergi untuk membantu pihak lain, isterinya yang tidak bertenggang rasa biasa memakinya. Suatu hari karena ia sakit ia gagal menjalankan tugasnya yang layak. Socrates pada hari itu meninggalkan rumah dengan wajah sedih. Teman-temannya bertanya mengapa ia bersedih. Ia menjawab bahwa isterinya tidak memakinya hari itu karena ia sedang sakit.
“Nah, kamu harus berbahagia karena tidak mendapat cacian yang tidak diharapkan”, kata teman-temannya. “Oh tidak! Ketika ia memakiku aku memperoleh kesempatan untuk mempraktekkan kesabaran. Hari ini aku kehilangan itu. Itulah sebabnya mengapa aku bersedih”. jawab si ahli fisafat.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Ketika dihina kita seharusnya berpikir bahwa kita diberi kesempatan untuk mempraktekkan kesabaran, cinta kasih, daripada sakit hati kita seharusnya berterima kasih pada lawan kita.
Untuk melatih kesabaran, Dhamma mengajarkan “Pada waktu melihat kesalahan pihak lain, kita seharusnya bersikap seperti orang buta. Pada waktu mendengar kritik tak adil dari pihak lain, kita seharusnya bersikap seperti orang tuli. Pada waktu berbicara jelek tentang pihak lain, kita seharusnya bersikap seperti orang bisu.
“Jadilah seperti seekor singa yang tidak mengigit karena suara, seperti angin yang tidak melekat pada mata jala, seperti teratai yang tidak tercemar oleh lumpur tempat tumbuhnya”. Biarlah Anjing mengonggong tetapi kafilah tetap berlalu”
KESIMPULAN
- “Kuman diseberang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tidak terlihat” Pepatah ini mengingatkan kita supaya selalu mulat saliro. Untuk kembali kepada jati diri masing-masing, mau introspeksi untuk mengetahui kelemahan, mengkoreksi kesalahan sikap/prilaku kita sendiri dan tidak cenderung melihat aspek negatif, mencela orang lain demi kepentingan sendiri atau kelompoknya.
- Ironisnya kondisi ini sering muncul dikalangan kita umat Buddha. Kita mengamalkan ajaran-ajaran luhur Sang Buddha melalui berbagai gerakan sosial. Tetapi ketika ke rumah dan mendapati ada anggota keluarga sendiri, yang berbuat kesalahan, kita menjadi naik pitam, marah dan tidak mau memaafkan. Seolah-olah ajaran Buddha telah menghilang dari kesadaran kita, pada hal seharusnya kita memaafkan, menjadi pendamai yang penuh cinta kasih dan penuh kejujuran.
- Manusia sebagai mahluk hidup memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri terhadap Kamma yang dibuat oleh pribadinya. Terlahir dan mengalami kematian adalah sebuah masa yang begitu singkat dan terlalu berharga bila hanya dilewatkan untuk mengkritik, mencela, mendiskreditkan orang lain. Oleh karena itu berhentilah kita menjadi pencela dan lebih merefleksikan diri untuk memperbaiki tingkah laku yang keliru dan menumbuhkan tindakan terpuji.
- Ingatlah! Mengisi diri dengan Dhamma, menjadi teladan dalam Dhamma, Jauh lebih berharga dari menyebarkan Dhamma tanpa isi.
Oleh: Letkol (Purn) drg. Nakulianto