Ada suatu kebiasaan di antara umat Buddha untuk membeli dan membebaskan burung, ikan, kura-kura dan makhluk hidup lainnya sebagai suatu “perbuatan baik”. Saya akan meninjau secara ringkas terhadap kebiasaan ini, serta berbagai cabangnya.
Seandainya dianggap baik dan “berjasa” perbuatan melepaskan binatang dan burung, maka konsekuensi logisnya, pertama-tama haruslah dianggap bahwa yang menangkap dan menjualnya adalah perbuatan buruk dan tercela.
Sekarang, tanpa adanya para pembeli, tak akan ada penjual; kita dapat menjual sesuatu hanya jika ada yang membelinya. Oleh karena itu, makhluk makhluk ini – yang dalam banyak kasus, hanyalah burung pipit dan semacam kutilang saja – ditangkap dan dijual kepada orang-orang yang membelinya untuk dilepas. Oleh karena itu, tidakkah si pembeli yang bertanggung-jawab terhadap mereka, sehingga mengakibatkan mereka ditangkap? Jika tak seorangpun membeli burung-burung ini, akankah merka ditangkap seperti ini? Apakah para pembeli tidak bertanggung-jawab, atau tidak terlibat dalam perbuatan tercela menjerat burung dan binatang liar ini?
Dan berpikir untuk melakukan perbuatan baik melalui binatang-binatang ini: tidakkah kita hanya menggunakan mereka untuk kepentingan kita? Dapaktah hal itu dipandang sebagai suatu kebajikan? Kita harus berpikir jernih terhadap segala sesuatu, dan tidak terlalu gegabah dalam keinginan kita terhadap kebajikan.
Jika kesejahteraan dari binatang-binatang itu yang menjadi dasar atau alasan untuk membeli dan melepaskan mereka, mengapa harus menunggu sesaat setelah membeli mereka sebelum melepaskannya? Mengapa tidak melepaskan mereka tepat di muka toko atau penjualnya, serta memberi mereka saat kebebasan ekstra itu? Sebaliknya, kita menbiarkan mereka terkurung dalam sangkar selama berjam-jam sampai dilaksanakannya suautu upacara yang sama sekali tidak dimengerti oleh burung dan binatang itu. Oleh karena itu, demi siapakah sebenarnya kita melakukan hal itu – demi burung dan binatang itu atau demi kita sendiri? Jika kita hanya menggunakan mereka untuk kepentingan kita, maka itu jauh dari ‘berbuat kebaikan’ dan kita malahan melakukan keburukan. Tidaklah benar untuk menggunakan pihak lain demi kepentingan kita seperti ini.
Jika kita sungguh peduli terhadap burung-burung dan binatang itu, kita akan menyadari bahwa orang yang membeli mereka adalah yang pertama kali bertanggung jawab terhadap mereka sehingga mereka ditangkap, dan selama ada orang-orang yang membeli, akan ada orang-prang yang menangkap mereka. Orang yang pernah ke Benares di India dan berperahu di sungai Gangga, tak diragukan lagi pasti akan didatangi oleh orang-orang yang berjualan ikan untuk dilepaskan ke dalam sungai. Kita bisa menghentikan perbuatan tercela menangkap ikan-ikan untuk dijuak serta dilepaskan jika kita menolak membeli; dalam jangka panjang, ini merupakan cara terbaik untuk membantu ikan-ikan dan burung-burung itu.
Ketika Pangeran Siddharta dilahirkan, ayahnya, sang Raja, mengundang delapan peramal untuk meramalkan masa depan anaknya. Setelah mengamati secara cermat tanda-tanda yang ada pada tubuh sang bayi, tujuh di antara mereka mengangkat dua jari dan mengatakan bahwa sang anak akan tumbuh sebagai raja besar atau seorang guru spiritual yang mengetahui kebenaran. Akan tetapi, peramal yang kedelapan, hanya mengangkat satu jari dan dengan tegas menyatakan bahwa bayi pangeran itu pasti akan menjadi Buddha. Kita tahu bahwa sang Pangeran melepaskan kehidupan mewahnya di istana dan akhirnya mencapai penerangan.
Seandainya Pangeran Siddharta tetap berada di istana dan bukannya pergi ke hutan untuk mencari Kebenaran, beliau akan mampu membantu sedikit orang dengan memerintah secara bijaksana dan baik, membantu yang miskin, meningkatkan taraf hidup rakyatnya dan sebagainya, tetapi pengaruhnya mungkin tak akan bertahan jauh lebih lama daripada yang Beliau lakukan. Seperti apa yang telah terjadi, dengan menjadi seorang Buddham Beliau mampu membantu tak terhitung banyaknya orang hingga saat ini, Saya menulis ini, misalnya, adalah karena Sang Buddha, lebih dari 2.500 tahun setelah Beliau wafat.
Kita harus mengikuti sesuatu secara tuntas, dan tidak hanya melihat hasil seketika dari perbuatan kita, tetapi juga efek jangka panjangnya. Jadi, sebelum anda membeli burung atau binatang-binatang lainnya untuk dilepas, tanyakanlah diri anda sendiri, mengapa anda melakukan itu, dan untuk siapa anda melakukan itu. Apakah anda benar-benar melakukannya demi binatang-binatang itu, ataukah untuk anda sendiri?
(Sumber: Warts and All., Abhinyana, Melbourne, 1994. Alih bahasa: Vajira Siek. Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV, atas izin Ir. Lindawati T)