Jhāna, atau pencapaian meditasi tingkat tinggi dalam ajaran Buddha, memiliki dua model klasifikasi yang berbeda, yaitu dalam Abhidhamma dan Sutta. Dalam Sutta, jhāna dikategorikan menjadi empat tingkatan, sementara dalam Abhidhamma, jhāna diklasifikasikan menjadi lima tingkatan. Perbedaan ini sering menimbulkan pertanyaan di kalangan praktisi dan akademisi Buddhis mengenai alasan di balik kedua sistem klasifikasi tersebut.
Mengapa Abhidhamma Menggunakan Lima Jhāna?
Jhāna, sebagai tahapan meditasi yang mendalam, menjadi inti dari praktik pengembangan batin (bhāvanā) dalam Buddhisme. Dalam Sutta Piṭaka, Buddha umumnya menjelaskan empat jhāna, tetapi Abhidhamma Piṭaka menguraikannya menjadi lima jhāna. Perbedaan ini bukanlah kontradiksi, melainkan elaborasi yang disesuaikan dengan kecenderungan individu (puggalajjhāsaya) dan keindahan ajaran (desanāvilāsa). Artikel ini akan mengupas alasan filosofis, rujukan sutta, serta struktur lima jhāna dalam perspektif Abhidhamma.
Dua Alasan Utama Penggunaan Lima Jhāna
- Kecenderungan Individu (Puggalajjhāsaya)
- Buddha mengajarkan Dhamma dengan mempertimbangkan keragaman kecerdasan, karakter, dan kapasitas spiritual para siswa. Sebagaimana disebut dalam Aṅguttara Nikāya 3.22 (Pāsarāsi Sutta), Buddha menggunakan metode berbeda untuk membimbing makhluk yang “berkarat, setengah berkarat, atau tanpa karat”. Lima jhāna dalam Abhidhamma mencerminkan pendekatan ini: beberapa praktisi memerlukan tahapan lebih rinci untuk mengatasi kekotoran batin secara bertahap.
- Keindahan Ajaran (Desanāvilāsa)
- Abhidhamma bertujuan menganalisis realitas secara sistematis. Dengan memecah jhāna menjadi lima tahap, ajaran ini menampilkan kedalaman dan keindahan Dhamma yang adaptif. Seperti dinyatakan dalam Dīgha Nikāya 16 (Mahāparinibbāna Sutta), Buddha menekankan pentingnya mengajarkan Dhamma “secara bertahap” (anupubbikathā), sesuai kebutuhan pendengar.
Struktur Lima Jhāna dalam Abhidhamma
Abhidhamma, terutama dalam Vibhaṅga dan Dhammasaṅgaṇī, merinci lima jhāna dengan mengurangi faktor-faktor tertentu pada setiap tahap. Ini selaras dengan analisis meditatif yang lebih teknis dibandingkan uraian sutta. Berikut penjelasannya:
1. Jhāna Pertama (Paṭhamajjhāna)
- Faktor:
- Vitakka (penempelan-awal/pemikiran awal)
- Vicāra (penempelan- terus-menerus/ penyelidikan)
- Pīti (kegembiraan)
- Sukha (kebahagiaan)
- Ekaggatā (kemanunggalan pikiran)
- Rujukan Sutta:
- Dalam Majjhima Nikāya 43 (Mahāvedalla Sutta), Buddha menjelaskan bahwa vitakka dan vicāra adalah “pembicaraan batin” yang membawa pikiran menuju objek meditasi.
- Tujuan:
- Jhāna pertama melatih konsentrasi dengan melibatkan kedua faktor aktif (vitakka dan vicāra) untuk mengatasi nīvaraṇa (rintangan mental), terutama keinginan indria dan ketidakpuasan.
2. Jhāna Kedua (Dutiyajjhāna)
- Faktor:
- Menghilangkan vitakka, menyisakan vicāra, pīti, sukha, dan ekaggatā.
- Rujukan Sutta:
- Majjhima Nikāya 111 (Anupada Sutta) menggambarkan bagaimana siswa mulia “masuk dan keluar dari jhāna” dengan menyadari lenyapnya faktor-faktor tertentu.
- Tujuan:
- Praktisi yang cenderung lebih tenang tidak memerlukan vitakka lagi. Vicāra yang tersisa mempertahankan penyelidikan halus terhadap objek meditasi.
3. Jhāna Ketiga (Tatiyajjhāna)
- Faktor:
- Menghilangkan vicāra, menyisakan pīti, sukha, dan ekaggatā.
- Analisis Abhidhamma:
- Menurut Vibhaṅga, vicāra dihilangkan karena telah mencapai keseimbangan yang cukup tanpa perlu penyelidikan lebih lanjut.
- Tujuan:
- Tahap ini cocok bagi mereka yang alaminya mudah mencapai ketenangan, tetapi masih mempertahankan kegembiraan (pīti).
4. Jhāna Keempat (Catutthajjhāna)
- Faktor:
- Menghilangkan pīti, menyisakan sukha dan ekaggatā.
- Rujukan Sutta:
- Dalam Dīgha Nikāya 2 (Sāmaññaphala Sutta), Buddha menggambarkan jhāna keempat sebagai keadaan di mana “kebahagiaan (sukha) murni muncul dari ketenangan”.
- Tujuan:
- Bagi praktisi yang cenderung lebih serius, pīti yang bersemangat bisa mengganggu. Sukha yang tersisa adalah kebahagiaan yang tenang dan stabil.
5. Jhāna Kelima (Pañcamajjhāna)
- Faktor:
- Menghilangkan sukha, menyisakan upekkhā (keseimbangan batin) dan ekaggatā.
- Rujukan Abhidhamma:
- Dhammasaṅgaṇī menyebut tahap ini sebagai “jhāna dengan keseimbangan murni”. Sukha di sini digantikan oleh upekkhā, yang lebih halus dan netral.
- Tujuan:
- Tahap ini dirancang bagi mereka yang memprioritaskan ketenangan mutlak, seperti praktisi yang menekuni Vipassanā atau jalan Kearahattaan.
Perbandingan dengan Empat Jhāna dalam Sutta Piṭaka
Dalam Sutta Piṭaka (misalnya Majjhima Nikāya 119 (Kāyagatāsati Sutta)), Buddha umumnya mengajarkan empat jhāna. Abhidhamma tidak menolak hal ini, tetapi memperluasnya untuk dua alasan:
- Detail Analitis: Abhidhamma memisahkan jhāna kedua dalam sutta menjadi dua tahap (jhāna kedua dan ketiga dalam Abhidhamma) guna menjelaskan transisi dari vicāra ke pīti secara lebih rinci.
- Kebutuhan Praktisi: Seperti dijelaskan dalam Aṅguttara Nikāya 5.26, Buddha mengakui bahwa “jalan menuju kebebasan berbeda-beda sesuai kecenderungan individu”.
Dengan demikian, pengelompokan lima jhāna dalam Abhidhamma bukanlah sekadar perubahan teknis, melainkan upaya Buddha untuk memberikan ajaran yang lebih rinci dan sistematis sesuai dengan berbagai kecenderungan individu.
Dalam model Sutta, jhāna pertama hingga keempat tetap mempertahankan struktur yang lebih sederhana. Namun, dalam model Abhidhamma, setiap jhāna dipecah lebih lanjut berdasarkan eliminasi bertahap dari faktor-faktor tertentu. Relevansi Lima Jhāna dalam Praktik Modern
- Meditasi Vipassanā:
- Lima jhāna menyediakan kerangka untuk memahami tahap-tahap konsentrasi sebelum beralih ke pengamatan fenomena (anicca, dukkha, anattā).
- Psikologi Buddhis:
- Dalam Abhidhammattha Saṅgaha, lima jhāna dikaitkan dengan jenis karma tertentu. Misalnya, pencapaian jhāna kelima dikatakan mendukung kelahiran di alam Suddhāvāsa (alam murni).
- Adaptasi untuk Pemula:
- Bagi praktisi yang kesulitan mencapai jhāna keempat (menurut sutta), lima jhāna memberikan alternatif bertahap yang lebih mudah diakses.

Perbedaan ini juga diperkuat oleh berbagai teks dalam Sutta Piṭaka yang menyebutkan adanya tiga jenis samādhi, yaitu:
- Samādhi dengan penempelan-awal dan penempelan-terus-menerus (Jhāna pertama di kedua model).
- Samādhi tanpa penempelan-awal tetapi masih dengan penempelan-terus-menerus (Jhāna kedua dalam model Abhidhamma, tidak ada padanan dalam model Sutta).
- Samādhi tanpa penempelan-awal dan tanpa penempelan-terus-menerus (Jhāna ketiga dalam Abhidhamma, Jhāna kedua dalam Sutta).
Empat Jalur Berbeda dalam Mencapai Jhāna
Buddha juga mengajarkan bahwa pencapaian jhāna tidak selalu sama bagi setiap individu. Dalam teks-teks Buddhis, dijelaskan adanya empat jalur utama dalam mencapai jhāna:
- Jalur yang menyakitkan dengan realisasi-langsung yang lambat (Dukkhapaṭipadā dandhābhiññā).
- Jalur yang menyakitkan dengan realisasi-langsung yang cepat (Dukkhapaṭipadā khippābhiññā).
- Jalur yang menyenangkan dengan realisasi-langsung yang lambat (Sukhapaṭipadā dandhābhiññā).
- Jalur yang menyenangkan dengan realisasi-langsung yang cepat (Sukhapaṭipadā khippābhiññā).
Proses pencapaian jhāna bergantung pada rintangan batin masing-masing individu serta kemampuannya dalam mengembangkan faktor-faktor jhāna secara sempurna. Oleh karena itu, pemahaman mengenai jalur-jalur ini sangat penting bagi para yogī agar dapat mencapai jhāna dengan efektif.
Kesimpulan
Perbedaan model klasifikasi jhāna dalam Abhidhamma dan Sutta bukanlah bentuk kontradiksi, melainkan pendekatan berbeda yang memiliki kelebihan masing-masing. Model Sutta memberikan pendekatan yang lebih sederhana dan langsung, sedangkan model Abhidhamma menyajikan struktur yang lebih terperinci guna memperjelas setiap tahap perkembangan meditasi. Oleh karena itu, memahami kedua model ini dapat membantu praktisi meditasi dalam memperdalam pemahaman mereka mengenai jhāna dan samādhi sesuai dengan ajaran Buddha.
disarikan: (Manual Abbhidhamma-Y.M. Ashin Kheminda)