Ketika bermeditasi, kita berusaha menghalangi kontak indera-indera kita. Kita mencari tempat yang sunyi, duduk bermeditasi dan tidak diganggu oleh suara-suara, penglihatan-penglihatan, bebauan dan sebagainya.
Jika kita membiarkan pikiran kita memperhatikan suara-suara dan gangguan-gangguan lainnya maka ia tidaklah mungkin menimbulkan konsentrasi. Demikian juga, jika kita membiarkan pikiran kita terlibat dengan bentuk-bentuk penderitaan maka kita tidak akan pernah tinggal di dalam kedamaian.
Memang, kebanyakan sifat alami dari pikiran kita adalah terlibat di dalam persoalan-persoalan. Bahkan meskipun kita mencoba untuk duduk dan bermeditasi, sangatlah sering kita memikirkan suatu persoalan. Mungkin kita belum benar-benar memikirkan tentang itu, tetapi ketika kita bermeditasi, kita menghidupkan kembali alasan-alasannya, lagi dan lagi, dan berusaha memikirkan sesuatu yang lebih baik untuk diucapkan, atau sesuatu yang menyakitkan untuk diucapkan. Dan kita menderita. Kita mungkin mulai menangis. Kita mungkin punya suatu persoalan, yang kita kesampingkan sejenak dari pikiran kita selama kita sedang sibuk dengan pekerjaan kita. Di dalam pekerjaan, ketika persoalan ini sedang kita lupakian, kita baik-baik saja. Kita bercakap-cakap, kita tertawa, kita bercanada, karena kita mengesampingkannya dari pikiran kita. Tetapi kemudian, ketika kita sedang sendiri, persoalan itu datang kembali dan kita mulai menangis.
Sekarang, apakah benar persoalan itu yang datang kembali? Sama sekali tidak. Persoalan itu terjadi minggu lalu, tahun lalu, 10 tahun lalu. Tetapi jika kita membiarkan pikiran-pikiran kita mengenangnya maka air mata keluar, kesedihan datang. Bukan persoalan itu yang menyebabkan keluarnya air mata, tetapi pikiran kita yang tidak mau melepaskannya. Adalah pikiran kita yang menghidupkan kembali dan tinggal di dalam kesedihan, di dalam ketidak-bahagiaan.
Selama kita berlaku demikian, kita tidak akan pernah bebas. Kita harus mempunyai keberanian untuk melanjutkan hidup – melihat hal-hal atau menghadapi kehidupan pada saat sekarang dan menghadapi suasana-suasana baru kehidupan – kita. Jika kita membiarkan diri kita sendiri menjadi tidak bahagia karena kejadian-kejadian masa lalu, kita tidak akan mampu untuk merasakan kebahagiaan. Kemampuan kita untuk menikmati saat sekarang benar-benar tidak bisa berpasangan.
Karena ini adalah masalah psikologi maka terdapat kemungkinannya untuk berubah. Misalnya jika kita telah benar-benar menikmati berlari atau berjalan, dan kita kehilangan kaki kita…….., maka adalah sulit untuk mengalami kegembiraan dari berlari atau berjalan tanpa kaki. Ini adalah masalah fisik. Tetapi pikiran, yang menderita tersebut, adalah kesakitan yang ditimbulnya untuk dirinya sendiri. Mungkin kita dulunya menikmati kebersamaan dari anak-anak kita, dari keluarga kita. Tapi sekarang, kita tidak dapat menikmatinya lagi karena kita tidak mampu untuk melepaskan kesedihan dari hal- hal lainnya.
Hal itu sering terjadi. Namun kita dapat membebaskan diri kita sendiri. Kita harus membebaskan diri kita sendiri, tidak hanya untuk mampu merasakan kebahagiaan. Itu bahkan bukan motivasinya. Alasannya adalah untuk menjaga pikiran kita agar berada pada keadaan yang positif, untuk mempraktekkan Dhamma. Jadi yang harus kita lakukan sekarang adalah mengembangkan sikap bergembira ketika persoalan-persolana muncul. Setuju?
(Sumber: Transforming Problems Into The Path, Amitabha Buddhist Centre, Singapore. 1999, alih bahasa: Ir.Lindawati T. Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV, atas izin Ir. Lindawati T)
Oleh: Thubten gyatso