Syair :
Lonceng Emas berdentang, menyadarkan insan nan lelap,
Semua fenomena di dunia, adalah fana, tidak kekal adanya,
Harta, nama, dan kedudukan hanya menyilaukan mata sesaat,
Semua kesenangan dan kenikmatan dunia, hanyalah sementara saja,
Segala fenomena yang terjadi di alam semesta ini, semua akan berlalu.
Hiduplah dalam jalan benar dan terang,
Cahaya Emas Mustika Abadi,
Dapat di insafi dalam Nurani,
Gema lonceng berdentang membahana,
Membangunkan diri dari napsu khayal dan serakah,
Kembali-kembalilah ke dalam kebenaran,
Hati Nurani sejati, Hukum Tuhan yang Kekal Abadi.
Lonceng emas di sini memiliki fungsi serupa dengan lonceng yang kita kenal pada umumnya. Yaitu untuk membangunkan, menyadarkan, membuat kita tersentak, terjaga, dan mengingatkan kita. Namun ada bedanya, fungsi istimewa dari lonceng emas adalah untuk membangunkan dan menyadarkan kita dari dunia fana. Lonceng emas juga memiliki fungsi istimewa yaitu untuk mengingatkan kita akan segala kesalahan, dosa dan kesesatan yang telah kita lakukan selama ini, yang tidak pernah puas akan apa yang kita dapat.
Tokoh Pandita Muda Maitreya, Heru Wintaria Onggaraharja begitu antusias menerangkan tentang lonceng emas. Ia adalah salah seorang pengabdi dharma yang sangat kental dengan hukum Tuhan, dan telah menjalankan vegetarian sejak tahun 1994. Ia telah berikrar di hadapan altar, untuk tidak memakan barang berjiwa selama seumur hidupnya. Berikut petikan wawancara selengkapnya dengan Heru Wintaria Onggaraharja.
Bagaimana pandangan Anda tentang kondisi bangsa kita saat ini?
Dunia ini adalah fana dan sementara. Tidak ada yang kekal abadi di dunia ini. Ini adalah hukum pertama yang diajarkan oleh sang Buddha. Dunia ini saja tidak kekal apalagi yang ada di dalam dunia ini. Termasuk kita manusia di dalamnya, kita terus mengalami perubahan, tidak ada yang menjadi penguasa selamanya, tidak ada yang menjadi orang kaya selamanya, dsb. Semua itu cepat atau lambat akan kita tinggalkan. Sang Buddha mengatakan, Kelahiran dan kematian datang begitu cepat, bagaikan matahari terbit dan tenggelam. Kita manusia saja tidak kekal, apalagi segala masalah kemanusiaan, segala masalah kehidupan yang ada dalam hidup kita ini, juga tidak kekal adanya. Ada orang suci yang mengatakan, Aku memandang dunia bagaikan sebutir debu. Pernyataan ini bukanlah dibuat-buat, namun dilihat dari cara orang orang suci itu memandang dunia.
Bagi kita secuil biskuit itu kecil, namun bagi semut itu besar sekali. Semua tergantung cara kita memandang segala sesuatu. Bagi sang Buddha dunia ini singkat adanya. Bagi kita dunia ini selama-lamanya. Jadi marilah kita sadar dan terjaga akan kefanaan dunia ini. Janganlah kita terlalu terikat, tersekat, tergila-gila akan dunia yang fana dan sementara ini. Namun bukan saja kita sadar tetapi kita malah berbuat kesalahan dan kesesatan di dalamnya, hanya demi kesenangan dan kenikmatan sesaat, demi harta benda, kekayaan pribadi, kuasa, popularitas, nama, gengsi, prestise. Bahkan tidak segan-segan demi semua itu ada yang sampai menyakiti atau mengorbankan orang lain.
Apakah ini berarti kita harus melepas segala-galanya termasuk harta, reputasi, dan kedudukan yang sudah ada pada kita?
Tentu saja bukan begitu. Lonceng emas berdentang tujuannya adalah untuk menyadarkan manusia agar tidak lagi tersesat ke dalam dunia yang maya. Lonceng emas di sini bukanlah lonceng yang terbuat dari emas yang bisa dibunyikan. Dia tidak berwujud, karena lonceng tersebut adalah kesadaran nurani kita. Seseorang yang hidup dalam keterikatan akan penuh dengan penderitaan dan kegelisahan. Ia takut akan kehilangan apa yang dimilikinya, orang yang memiliki kekayaan akan takut hartanya akan berkurang, bahkan ia tidak akan pernah puas dengan apa yang dia miliki. Namun bukan berarti kita harus membuang harta kekayaan tersebut. Kita seharusnya bersyukur atas berkah yang telah diberikan Tuhan, dan mampu memandang harta kekayaan tersebut dengan mata kebijaksanaan, bahwa suatu saat, cepat atau lambat dia akan meninggalkan kita atau kita akan meninggalkannya melalui kematian. Dengan demikian kita akan lebih bijaksana memanfaatkan apa yang telah dimiliki untuk tujuan yang lebih mulia. Misalnya menolong orang yang membutuhkan pertolongan, melindungi yang lemah, dsb. Semua ini demi membangun jutaan kebaikan selama hidup di dunia. Sadarilah bahwa kebajikan inilah yang kekal abadi dan akan membawa kita setelah kematian nanti.
Lalu bagaimana kita seharusnya hidup di dunia?
Seseorang yang telah tersadar bagaikan ia telah bangun dari mimpinya, tak lagi tersesat dalam dunia fana yang penuh kepalsuan, tidak lagi bertikai, bersaing dan berebut keuntungan dan nama, karena ia sadar ketika maut datang semua itu akan sirna tak berbekas. Dengan kesadaran inilah ia akan hidup bebas leluasa, bahagia dalam kesejahteraan dan kesahajaan, tidak mendiskriminasikan antara satu dengan yang lain, rendah hati, berperilaku sabar. Selanjutnya lonceng berdentang kedua kalinya menyadarkan manusia untuk memancarkan kecemerlangan nuraninya dengan mengembangkan kebenaran, cinta kasih, dan moral kebajikan serta berjuang dalam kebenaran Tuhan menjadi suri tauladan di dunia ini, panutan bagi semua umat manusia. Namun untuk menjadi teladan terlebih dulu kita memperbaiki diri sendiri. Bila diri sendiri telah benar, maka orang lain pun akan terpanggil dan tergerak untuk meneladani. Untuk dapat menggugah orang lain dalam melakukan kebenaran, tidak bisa hanya sekedar melalui ucap dan kata, apalagi tidak diiringi dengan contoh nyata dalam teladan berperilaku. Oleh karena itulah dikatakan, dalam memberi teladan bagi orang lain, harus dimulai dari dalam diri kita sendiri.
Apakah kita mungkin mempertahankan perilaku nurani yang cermelang, sementara dunia penuh fenomena-fenomena dan orangorang yang akan terus mendatangkan pengaruh kepada kita?
Pepatah Buddhis mengatakan “Jalan menuju sukhavati penuh dengan godaan dan rintangan.” Dalam memperjuangkan kebenaran tentu saja akan banyak rintangan, terlebih-lebih kini kita hidup dalam zaman yang penuh dengan kemelut dan persaingan. Untuk itu hadapilah segala macam hambatan dan ujian yang datang menghadang. Janganlah kita terus dikendalikan oleh keadaan yang terjadi atas diri kita, namun jadilah orang yang bisa mengendalikan keadaan.
Di saat menghadapi rintangan, jangan lupa berdoa dan bersujudlah kepada Tuhan dan para Buddha Bodhisatva, agar senantiasa dikuatkan dalam perjuangan mengarungi kehidupan ini. Selain itu marilah kita senantiasa berintrospeksi dan mawas diri. Apabila kita mampu menghadapi dan memetik hikmah dari setiap peristiwa fana yang kita hadapi, dengan senantiasa bersyukur dan memancarkan kasih di dalamnya, kita baru akan dapat mengalami pertumbuhan batin hingga mencapai tahap penerangan batin yang sempurna.
Saat itu kita akan menjadi pelita yang membawa terang bagi kegelapan dunia. Inilah teladan umat manusia yang sejati dengan selalu dapat mendatangkan ketergugahan nurani bagi umat manusia. Inilah kehidupan semua orang suci yang pernah hadir di dunia yang fana ini. Seorang yang telah sadar dan cemerlang nuraninya, ia dapat senantiasa bangkit dan terus berjuang bagi kebahagiaan semua makhluk. Genta emas berdentang menyadarkan manusia untuk sadar dan bertobat membersihkan dosa karma. Menjunjung kebenaran budi pekerti yang luhur, beramal dan berkarya tanpa nama dan pamrih. Semua berbahagia dunia damai sentosa.Toto