Kecenderungan manusia pada umumnya adalah selalu ingin mencari sesuatu yang baru. Ini karena sifatnya yang pembosan dan karena kenyataan dari tidak kekalnya dan tidak tetapnya hati dan pikiran manusia (anicca). Tak pelak lagi, semuanya yang telah didapatkan segera akan ditinggalkan, dan ia mulai lagi mencari-cari sesuatu yang baru (menurut pandangannya).
Celakannya, karena sempitnya pengetahuan manusia, yang belum mengetahui hakikat dari Dhamma, lalu menyamaratakan posisis benda-benda dan hal-hal duniawi, dengan Dhamma. Padahal sifat, kedudukan, dari benda-benda dan hal-hal duniawi sangatlah bertolak kebelakang dengan Dhamma yang kekal. Dhamma yang dimaksudkan disini adalah Dhamma yang kekal, sang Ajaran Pokok, Hukumn-Hukum Alam, Hukum-Hukum Kebenaran, yang telah ada dan berlaku dari sejak dahulu kala, sekarang, maupun untuk masa yang akan datang; sedangkan benda-benda dan hal-hal duniawi – semacam barang-barang (yang bisa dimiliki), diri manusia ini, ilmu-ilmu pengetahuan, hingga kepada gagasan-gagasan dan pemikiran-prmikiran manusia -, semua ini bisa berubah, selalu berubah, dn pasti akan berubah. Ia terkena hukum-hukum alam, hukum anicca. dan lain lain. Pendek kata, terkena oleh Dhamma itu sendiri. Sedangkan Dhamma, tidak pernah berubah. Dhamma tidak mungkin dan tidak akan berubah sesuai dengan kehendak manusia. Bukan karena manusia mengatakan Dhamma berubah, lalu Dhamma (akan benar-benar) berubah. Tidak! Hanya manusia bodohlah yang akan dan mau percaya kepada pemikiran-pemikiran sempit semacam ini.
Hanya para Buddha yang memiliki pengetahuan yang paling sempurna. Tidak ada makhluk lainpun di dunia ini, maupun di dunia-dunia lainnya (termasuk di tata surya lain dan di dunia para dewa manapun) yang kesempurnaannya sebanding dengan seorang Buddha. Di satu zaman yang sama, tidak mungkin akan terlahur dua atau banyak Buddha. Seorang Buddha (Samma-Sambuddha) adalah makhluk yang benar-benar luar biasa kesempurnaannya, yang teramat sangat langka kemunculannya (baca kembali artikel tentang kemunculan para Buddha). Bahkan belum tentu pada satu masa dunia, akan lahir satu orang Buddha. Juga seorang Buddha tidak akan lahir pada sembarang waktu dan disembarang tempat, tidak juga kelahiran seorang Buddha tidak diketahui oleh seisi dunia dan alam semesta ini. Kelahiran seorang Buddha pasti akan menghebohkan “seisi jagat”, termasuk di dunia ini.
Dengan kesempurnaannya, Para Buddha mengetahui dengan jelas hakikat dari dunia – hidup dan kehidupan – ini. Beliau dapat melihat dengan lengkap Hukum-Hukum yang berlaku di dunia dan di alam semesta ini, serta sifat-sifat dari Hukum-hukum tersebut. Dengan kebijaksanaannya yang sempruna, Beliau mengajarkan kepada manusia dan makhluk-makhluk lainnya tentang Hukum-hukum (Dhamam) ini, yang pokok-pokok dan yang perlu-perlu untuk mengakhiri Dukkha dan Samsara.
Maka dari itu, apa yang diajarkan oleh orang-orang (yang mengaku dirinya suci, yang mengaku ajarannya sebanding dengan ajaran Para Buddha), sesungguhnya tidaklah sempurna, tidak sesempurna Ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha; pengetahuannya juga tidak sesempurna pengetahuan Sang Buddha; kemampuan mengajar dan membimbingnya juga tidak sesempurna Sang Buddha; kesuciannya juga tidak sesuci Sang Buddha; kebesaran dan keluasan Metta, Karuna, Mudita, dan Upekkhanya juga tidak sesempurna punya Sang Buddha.
Kembali kepada apa yang telah disinggung di awal tulisan ini, karena sifat pada umumnya dari manusia duniawi ini adalah pembosan ( ini tentu karena dipicu oleh lobha. dosa, dan moha yang ada di dalam dirinya) maka ia mudah tertipu dan mudah menyeleweng. Tertipu oleh kebenaran-kebenaran yang kadarnya lebih rendah; dan menyeleweng dari jalur Kebenaran Dhamma yang hakiki. Juga dikarenakan oleh sifat manusia yang pembosan dan berpikiran dangkal itu, membuat ia malas, tidak mau menggali dan mencari Kebenaran yang Sejati. Dari situlah muncul berbagai noda dan penyimpangan!
Dari sejak dahulu kala (Sejak waktu yang tak terdeteksi lamanya), hingga sekarang, maupun waktu-waktu yang akan datang (hingga waktu yang tak terhingga lamanya), Dhamam ini sudah ada, dan akan terus ada. Dan adannya ia , juga hanya yang itu-itu saja.
Dhamma ini diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita semua, untuk dapat kita jalani dan ktia capai. Kita BISA mencapai Dhamma yagn hakiki ini. Dhamma ini tidak lain adalah yang berkenaan dengan Kebenaran Pokok dan yang membawa kepada Tujuan, Akhir Dukkha. Pengertian Dukkha di sini adalah luas. Dhamma yang itu-itu disini adalah ajaran atau pengetahuan tentang Empat kesunyataan/ Kebenaran Mulia, yang berisi tentang hakikat hidup dan kehidupan ini – yang “dukkha” -, tentang Nibbana dan tentang Jalan atau Cara untuk mencapai Nibbana, yaitu Pembebasan Sejati, Kedamaian Sejati, Tujuan Akhir, atau Akhir Dukkha/Samsara. Dhamma di sini juga termasuk:
Hukum-Hukum Alam yang antara lain mencakup: Hukum keselarasan perbuatan (kamma-niyama), Hukum keselarasan pikiran (citta niyama), Hukum keselarasan fisik (utu niyama), Hukum keselarasan biologis (biji niyama), Hukum keselarasan Alam Semesta yang diluar kateogir sebelumnya (dhamma niyama);
Hukum Sebab-Akibat (yang kita kenal dengan isitilah paticcasamuppada) yang saling bergantungan atau berkaitan;
Hakikat dunia yang Anicca, Dukkha, Anatta, yang Tathata (demikian-demikian saja), Sunyata(kosong), dan Paticcasamuppada (bersebab-musabab yang saling berkaitan)
Para siswa Sang Buddha, dengan berbekal pengetahuan Dhamma yang memadai, melanjutkan pembabaran Dhamma kepada umat manusia, kepada masyarakat luas. Tidak lain hanyalah untuk mengingatkan kita tentang ajaran Kebenaran, Buddha Dhamma. Mereka tidak mengajarkan sesuatu (Dhamma) yang baru, yang dapat menyesatkan dan memelencengkan dari jalur utama.
Sang Ajaran (Dhamma) ini perlu untuk selalu diingatkan karena banyak manusia-manusia yang belum sempurna sehingga batinnya mudah lengah, lalai dan lupa. Mereka yang mau diingatkan, akan memperoleh kebahagiaan, tapi yang tidak mau diingatkan, akan menanggung sendiri akibatnya.
Maka, didorong oleh cinta-kasih dan kasih-sayang, demi keselamatan, kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia serta semua makhluk, Dhamma senantiasa dibabarkan.
(Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV, atas izin Ir. Lindawati T)
Oleh. Upi. Labhavati